Pertama, flexing bisa menjadi sumber motivasi bagi beberapa orang. Melihat pencapaian atau gaya hidup seseorang yang sukses bisa menginspirasi orang lain untuk bekerja lebih keras atau mengembangkan diri mereka sendiri. Ini sering terlihat dalam konten-konten motivasi atau kesuksesan di media sosial.
Namun, di sisi lain, flexing juga dapat menyebabkan dampak negatif. Praktik ini sering kali menimbulkan perasaan cemburu, tidak puas, atau bahkan inferioritas pada orang-orang yang melihatnya. Orang mungkin merasa rendah diri atau merasa tekanan untuk mengejar gaya hidup yang tampaknya dikejar oleh orang lain di media sosial.
Selain itu, ada juga isu kejujuran dan autentisitas. Banyak flexing dilakukan dengan memanipulasi atau mengedit foto, atau hanya menunjukkan satu sisi cerita yang tidak mewakili kehidupan sehari-hari secara akurat. Hal ini bisa menciptakan ekspektasi yang tidak realistis atau mengaburkan batas antara realitas dan citra yang dibangun.
Dalam konteks budaya pop modern, fenomena flexing sering kali dikaitkan dengan budaya konsumtif dan materialisme yang berlebihan. Ini dapat mempengaruhi persepsi nilai dan tujuan hidup seseorang, mengarahkan fokus pada hal-hal yang bersifat duniawi daripada pada pengembangan pribadi atau kesejahteraan emosional.
Sebagai kesimpulan, flexing di media sosial bukanlah fenomena baru dan memiliki berbagai dampak baik positif maupun negatif. Penting untuk mengambil sikap kritis terhadapnya, baik sebagai penonton maupun praktikannya sendiri, untuk memahami implikasi sosial dan psikologisnya secara lebih dalam. Mendukung dan mempromosikan nilai-nilai autentisitas, kejujuran, dan inspirasi yang sehat dapat membantu mengurangi efek negatif dari praktik flexing yang berlebihan di media sosial.
Komentar