Jakarta, Harian Batakpos.com – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan pada pembukaan perdagangan Selasa pagi ini (03/09/2024), setelah data deflasi dan kontraksi di sektor manufaktur diumumkan oleh BPS kemarin.
Melansir dari Refinitiv, harga rupiah pagi ini dibuka pada posisi Rp15.525/US$, merosot 0,03% dari penutupan harga sebelumnya (02/09/2024). Dalam waktu empat menit setelah pembukaan, harga rupiah cenderung melemah lebih jauh, turun 0,26% menjadi Rp15.560/US$.
Sementara itu, pada awal sesi I, indeks harga dolar AS (DXY) tercatat di titik 101,66, mengalami kenaikan 0,02% dari penutupan harga sebelumnya. Penguatan dolar AS ini merupakan salah satu faktor eksternal yang turut memengaruhi pelemahan rupiah.
Pelemahan nilai tukar rupiah ini didorong oleh kekhawatiran publik terhadap data PMI manufaktur Indonesia dan China, serta deflasi Indeks Harga Konsumen (IHK). Penurunan PMI Manufaktur Indonesia yang tercatat turun menjadi 49,3 pada Juli dan 48,9 pada Agustus 2024 menunjukkan tekanan yang signifikan terhadap sektor manufaktur, yang merupakan pilar ekonomi Indonesia. Kontraksi ini memperburuk kekhawatiran mengenai potensi penurunan kinerja ekonomi nasional menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo.
Tren deflasi yang berlangsung selama empat bulan terakhir juga menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Pada Agustus 2024, Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat deflasi sebesar 0,03% secara bulanan, dengan inflasi tahunan hanya mencapai 2,12%. Deflasi ini menunjukkan penurunan daya beli masyarakat, berdampak negatif pada sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik dan memperburuk sentimen pasar terhadap rupiah.
Di sisi global, penguatan Indeks Dolar AS ke level 101,698 memberikan dampak signifikan pada nilai tukar mata uang lainnya, termasuk rupiah. Kenaikan imbal hasil US Treasury dengan tenor 10 tahun yang mencapai 3,91% menarik investor untuk mengalihkan dananya ke aset-aset yang lebih aman di Amerika Serikat, berpotensi menyebabkan arus keluar modal dari pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Tekanan pada nilai tukar rupiah juga diperparah oleh kondisi ekonomi di Amerika Serikat dan China. PMI Manufaktur AS yang turun ke 48 pada Agustus 2024 menunjukkan kontraksi lebih lanjut dalam aktivitas manufaktur. Di China, PMI Manufaktur Umum Caixin hanya naik tipis ke 50,4, menunjukkan ekspansi yang sangat moderat, sementara ekspor menurun. Kondisi global yang melemah ini menambah tekanan pada nilai tukar rupiah, membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya di tengah ketidakpastian ekonomi.
Namun, meski mengalami berbagai tekanan, nilai tukar rupiah masih bertahan dan mengalami penguatan pada perdagangan hari ini.
Komentar