Berita Daerah
Beranda » Berita » Paripurna Berakhir Ilegal, Pimpinan Dewan Setujui RAPBD 2019

Paripurna Berakhir Ilegal, Pimpinan Dewan Setujui RAPBD 2019

Ketua DPRD Sumut Wagirin Arman bersama Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menandatangani pengesahan P-APBD Sumut 2019 dan R-APBD Sumut 2020, disaksikan Sekwan Erwin Lubis. (9/9/2019)

MEDAN-BP: Rapat Paripurna DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Provinsi Sumatera Utara berakhir ilegal. Pimpinan Dewan yang semula tegas menolak karena langgar tatib akhirnya pada rapat yang digelar Senin (9/9/2019) pada pukul 5 hingga malam, pihaknya menyetujui Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) Provinsi Sumut Tahun Anggaran (TA) 2019 untuk disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda).

Ketua DPRD Sumut Wagirin Arman juga menyetujui Ranperda tentang Rancangan APBD (R-APBD) Sumut TA 2020 dan Ranperda tentang Pencabutan Perda Provinsi Sumut Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Barang.

Pengesahan keputusan ditandai dengan penandatanganan bersama antara Ketua DPRD Sumut Wagirin Arman dengan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, dan dilanjutkan dengan penyerahan dokumen yang disaksikan para ketua fraksi DPRD Sumut.

Pengedar Narkoba Ditangkap Polrestabes Medan

Adapun, Perubahan APBD 2019 yang disahkan yakni pendapatan semula Rp 15,3 triliun menjadi Rp 14,0 triliun. Dari sisi belanja, semula Rp 15,5 triliun menjadi Rp 14,7 triliun. Untuk pembiayaan, penerimaan semula Rp 500 miliar bertambah menjadi Rp 981,1 miliar. Pengeluaran semula Rp 283,8 miliar bertambah menjadi Rp 288,8 miliar.

Sedangkan R-APBD TA 2020 yang disahkan sebesar Rp 12,4 triliun dari sisi pendapatan dan belanja Rp 12,6 triliun. Dari sisi pembiayaan, disetujui penerimaan sebesar Rp 300 miliar dan pengeluaran sebesar Rp 100 miliar.

Menuai kritikan & Protes

Sementara ditempat terpisah dari Fraksi PDI Perjuangan yang dipimpin Baskami Ginting menyebut paripurna pengesahan P APBD 2019 tidak sah alias ilegal.

Polresta Deli Serdang Salurkan Air Bersih dan Bagikan Sembako Jelang HUT Bhayangkara ke-79

Kritikan & protes tersebut dicetuskan Sutrisno Pangaribuan ST menanggapi ngototnya pimpinan dewan melaksanakan paripurna walau pesertanya tak kourum.

“Kita selalu mengkoreksi kebijakan pimpinan. Memprotes dan kritik danengingatkan saat rapat hendak dimulai karena langgar tatib”, cetus Sutrisno.

Tapi aneh  akrobat politik DPRD Provinsi Sumatera Utara anti klimaks. Khusus APBD Perubahan TA.2019 untuk kesekian kalinya dipaksa melanggar tata tertib.

Pada putusan Paripurna 27 Agustus 2019 ketegasan Wagirin Arman patut diacungkan jempol. Ketika itu Wagirin Arman mengetuk palu keputusan menyerahkan penyelesaian APBD Perubahan TA.2019 ke Kemendagri.

Diyakini ada nuansa manuver dari beberapa oknum anggota DPRD diduga sebagai “aktor intelektual” gerakan melanggar tata tertib.

Salah satunya tindakan “over acting” anggota BKD yang mencoba mengaitkan kehadiran Anggota DPRD di sidang paripurna dengan kode etik.

Oknum Anggota BKD DPRD itu “cari muka” dengan menyerahkan daftar kehadiran 31 Anggota DPRD kepada pimpinan. Tindakan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan sidang paripurna. Sementara kegiatan paripurna pembahasan APBD Perubahan TA.2019 jelas- jelas melanggar tata tertib.

Tindakan tersebut merupakan pelangaran kode etik, namun oknum anggota BKD tersebut sudah gelap mata, aksi akrobatik lebih penting daripada menegakkan tata tertib.

Sikap ngotot dari oknum pimpinan dan anggota DPRD untuk melaksanakan sidang paripurna dengan menabrak aturan patut diduga berkaitan dengan “sesuatu”.

Sinyal itu terungkap saat tercetusnya uangkapan “tidak ada makan siang gratis” .Diakibatkan dalam politik diduga kuat terjadi dalam sidang paripurna “illegal”, beber Sutrisno.

Adalah kepentingan segelintir oknum, ujar Sutrisno lagi membeberkan, bahwa pernyataan demi “kepentingan rakyat” sebagai bentuk kebohongan publik.

Selama 5 Tahun sidang paripurna DPRD Provinsi Sumatera Utara, belum pernah ada perdebatan menyangkut rakyat. Perdebatan hanya seputar upaya mengakomodasi kepentingan orang per orang maupun kelompok.

Jejak digital masih menyimpan perubahan sikap dari beberapa oknum anggota DPRD yang awalnya menolak, namun di akhir sangat  bersikukuh melanjutkan paripurna meskipun melanggar tata tertib. Perubahan itu tidak berdiri sendiri, diduga ada “sesuatu” yang dipengaruhi perubahan sikap tersebut. Ada oknum yang “garang” mengoreksi sikap gubernur, namun menjadi penggonggong utama mendukung paripurna “illegal”.

Tahun 2018 juga tidak ada Perubahan APBD TA.2018, karena arogansi sikap gubernur. Namun mereka yang teriak “demi kepentingan rakyat” kemarin siang, bungkam, dan sama sekali tidak berani menyatakan sikap kepada gubernur. Bahkan tidak ada kelompok masyarakat yang melakukan tekanan “aksi”. Sikap inkonsisten “seirama” tersebut muncul ketika Ketua DPRD memutuskan menyerahkan penyelesaiannya kepada Kemendagri.

Ada manuver oleh oknum anggota DPRD, ada pula “aksi” tekanan publik kepada Ketua DPRD. Kalau Gubernur yang menolak APBD Perubahan TA.2018, boleh; kalau DPRD yang menolak karena ingin menegakkan aturan, tidak boleh! Paripurna harus dijalankan meskipun melanggar tata tertib, bahkan hanya dihadiri 51 orang pun mainkan. Sementara syarat kuorum untuk pengambilan keputusan tentang Ranperda harus dihadiri sekurang- sekurangnya 2/3 dari 100 anggota DPRD. Syarat minimal kuorum adalah 67 orang hadir secara fisik, bukan 67 tanda tangan.

Maka sesuai dengan proses diatas, Kemendagri diharapkan harus menolak melakukan evaluasi terhadap Ranperda produk sidang paripurna “illegal”. Jika Kemendagri juga tetap melakukan evaluasi, maka Kemendagri pun menjadi bagian yang turut bertanggungjawab secara moral dan hukum atas pelanggaran tata tertib DPRD. (BP/MM)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *