Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pada masa Orde Baru (1966-1998) merupakan bagian dari dinamika politik yang dipengaruhi oleh kekuasaan otoriter rezim Soeharto. Meskipun secara resmi diadakan sebagai wujud “demokrasi terpimpin”, pemilu pada masa tersebut sebagian besar diatur dan dikendalikan oleh rezim.
Pemilu memiliki tujuan utama untuk mempertahankan kekuasaan politiknya. Artikel ini akan mengulas bagaimana terjadinya pemilu pada masa Orde Baru serta dampaknya terhadap politik dan masyarakat Indonesia.
Konteks Politik Pemilu pada Masa Orde Baru
Pasca-pemberontakan PKI dan kejatuhan Presiden Soekarno pada tahun 1965, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan dan mendirikan Orde Baru. Pada awal rezimnya, Soeharto memperkenalkan konsep “demokrasi terpimpin”, di mana kekuasaan politiknya secara ketat dijaga melalui kontrol terhadap lembaga-lembaga negara, termasuk proses pemilihan umum.
Pemilu pada masa Orde Baru digunakan sebagai alat legitimasi rezim, di mana partai politik yang didominasi oleh partai Golkar merupakan kendaraan politik utama bagi pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pemilu diatur sedemikian rupa sehingga memastikan kemenangan Golkar, dengan berbagai keterlibatan aparat pemerintah dalam proses kampanye dan pemungutan suara.
Mekanisme Pemilu pada Masa Orde Baru
Pemilu pada masa Orde Baru dilaksanakan dengan beberapa mekanisme yang menguntungkan penguasa. Salah satunya adalah sistem pemilihan tidak langsung, di mana anggota parlemen dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mayoritasnya diisi oleh anggota Golongan Karya (Golkar) yang merupakan kendaraan politik rezim.
Selain itu, kontrol ketat terhadap media massa dan ruang politik membuat oposisi sulit untuk berkembang dan bersaing secara adil. Partai politik oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) cenderung mendapat tekanan dan keterbatasan dalam kampanye dan penggalangan dukungan.
Dampak Pemilu pada Masyarakat dan Politik
Pemilu pada masa Orde Baru menciptakan pola politik yang tidak sehat, di mana oposisi terkekang dan kebebasan politik dibatasi. Kondisi ini menciptakan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap proses politik yang berdampak pada stabilitas politik dan keamanan nasional.
Selain itu, keberhasilan rezim dalam mengontrol proses pemilu juga memperkuat legitimasi kekuasaannya di mata masyarakat internasional, meskipun banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia dan kecurangan dalam pemilu tersebut.
Perubahan Pasca-Reformasi
Pasca-jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia mengalami transisi politik yang signifikan. Pemilu menjadi lebih terbuka dan kompetitif dengan kehadiran berbagai partai politik yang meramaikan panggung politik Indonesia. Pemilu 1999 menjadi titik balik dalam sejarah politik Indonesia yang menandai era baru dalam demokrasi Indonesia.
Pemilu pada masa Orde Baru merupakan cerminan dari kendali otoriter rezim Soeharto terhadap politik Indonesia. Meskipun secara resmi diadakan sebagai proses demokratis, pemilu tersebut lebih menonjolkan pencitraan daripada substansi demokrasi.
Dampaknya terhadap masyarakat Indonesia adalah terbatasnya partisipasi politik yang sehat dan berkembangnya ketidakpercayaan terhadap institusi politik. Namun, pasca-reformasi, pemilu telah menjadi salah satu instrumen utama dalam menjaga dan memperkuat demokrasi di Indonesia.
Komentar