Medan, HarianBatakpos.com – Pengadilan Tinggi (PT) Medan, Sumatera Utara, memperkuat hukuman terhadap tiga terdakwa dalam kasus korupsi koneksitas eradikasi lahan PT Perkebunan Sumatera Utara (PSU). Ketiga terdakwa tersebut tetap divonis hukuman penjara selama sembilan tahun enam bulan atau 9,5 tahun.
Korupsi lahan PT PSU, yang melibatkan mantan Direktur Utama PT Perkebunan Sumatera Utara, Gazali Arief, Ketua Primer Koperasi Kartika Karyawan dan Veteran Babinminvetcad Kodam I/Bukit Barisan (I/BB) Letkol Inf (Purn) Sahat Tua Bate’e, serta Direktur PT Kartika Berkah Bersama Febrian Morisdiak Bate’e, telah menjadi sorotan publik. Dalam putusan banding yang diakses melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Medan pada Sabtu (24/8), Pengadilan Tinggi Medan memutuskan untuk menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Medan.
Putusan banding ini dibacakan oleh Hakim Ketua Longser Sormin didampingi oleh Brigadir Jenderal TNI Apel Ginting dan Ansyori Syaifudin sebagai Hakim Anggota pada Selasa (20/8). Sebelumnya, pada 12 Juni 2024, Pengadilan Tipikor PN Medan telah menjatuhkan vonis sembilan tahun enam bulan penjara kepada ketiga terdakwa.
Hakim M Yusafrihardi Girsang menyatakan bahwa ketiga terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mereka juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp350 juta, yang jika tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama lima bulan.
Kasus korupsi ini dianggap memberatkan karena para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi dan menghambat pembangunan nasional. Meskipun demikian, majelis hakim memberikan keringanan hukuman karena ketiga terdakwa telah bersikap sopan selama persidangan dan belum pernah dijatuhi hukuman sebelumnya.
Selain hukuman penjara, terdakwa Sahat Tua Bate’e diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp6,2 miliar, sementara anaknya, Febrian, dibebankan membayar uang pengganti sebesar Rp3,3 miliar. Jika tidak dibayar dalam waktu yang ditentukan, harta benda mereka akan disita dan dilelang untuk menutupi kerugian negara.
Kasus ini bermula dari modus operandi yang melibatkan penjualan tanah lahan PT PSU ke proyek pembangunan jalan tol melalui vendor. Berdasarkan penghitungan ahli akuntan publik, negara, dalam hal ini PT PSU, mengalami kerugian sebesar Rp50,4 miliar.
Dengan demikian, Pengadilan Tinggi Medan menegaskan kembali komitmennya dalam memberantas korupsi dengan memperkuat hukuman terhadap para pelaku kejahatan yang merugikan negara. (BP/NS)
Komentar