Medan, harianbatakpos.com – Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat), baru saja dilanda bencana besar. Seribuan meninggal, ratusan hilang, belasan ribu bangunan rusak, dan ratusan ribu mengungsi. Data dampak bencana tersebut lalu membuat berbagai eleman mendesak, agar pemerintah menetapkannya sebagai ‘Bencana Nasional’.
Dan inilah, menurut pengamat sosial, Raya Timbul Manurung, yang disikapi dengan hati-hati dan bijak. Sebab, menurutnya, justeru ada dampak lebih buruk, apabila Presiden sampai mengeluarkan SK Bencana Alam Nasional.
Demikian disampaikan alumni UGM ini kepada media, Sabtu (20/12/2025), menanggapi desakan agar Presiden menetapkan Bencana Nasional. Salah satu yang paling mengkhawatirkan, menurut dia, adalah, kemungkinan bebasnya para tersangka yang diduga menjadi penyebab bencana. Selain itu, perusahaan-perusahaan akan menjadi bebas dari tanggung jawab atas bencana besar ini.
Raya Timbul Manurung pun lantas menguraikan beberapa dampak, yang menurutnya bisa timbul akibat penetapan Bencana Nasional, antara lain: Bahwa semua perusahaan ansuransi menjadi tidak perlu membayar kewajiban biaya perbaikan, penggantian terhadap semua kendaraan yang diansuransikan yang di-leasing dan semua aset pabrik yang rusak akibat bencana di Sumatera.
“Hal ini disebut ‘force major’. Sehingga tidak perlu dibayar ansuransi. Saat ini ada puluhan ribu mobil, truk kendaraan bermotor roda dua yang di-leasing, diansuransikan. Ada juga puluhan pabrik minyak kelapa sawit, ‘crumb rubber’, pabrik plywood yang kena banjir. Umumnya diansuransikan,” ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, semua yang dipanggil polisi karena dianggap ‘ilegal logging’ menciptakan banjir bandang di Sumatera Utara, harus dinyatakan bebas dan tak terbukti penyebab bencana. “Karena dengan penetapan ‘Bencana Nasional’, maka artinya, banjir bandang adalah akibat bencana alam, bukan karena penebangan kayu. Jadi tentu saja menjadi tidak ada perusahaan atau penanggung jawab perusahaan yang bertanggung jawab,” jelas Ratiman, sapaan akrab Raya Timbul Manurung.
Ia pun menyebut, bahwa kasus serupa pernah terjadi pada kejadian Lumpur Lapindo. “Pemerintah menyatakan sebagai Bencana Alam, bukan ‘human error’ dan bukan ‘tecnical error’. Akibatnya, Abu Rizal Bakrie sebagai pemilik PT Lapindo dibebaskan dari tanggung jawab mengganti kerugian akibat lumpur Lapindo. Padahal ribuan rumah, pabrik, tempat usaha, rel kereta api, jalan, pipa gas, pipa air, jaringan telekom rusak. Ansuransi pun tidak mengganti biaya kerugian, karena sudah jadi Bencana Alam Nasional,” paparnya.
Selain itu, kata Ratiman, bagi pimpro dan SKPD, kepala lembaga, kepala daerah, jadi payung hukum memudahkan mereka untuk mengeluarkan dana APBN APBD, tanpa tender. “Bisa penunjukan langsung kontraktor dan atau suplier,” imbuhnya.
Padahal, dengan atau tanpa status Bencana Nasional, proses pemulihan atau rehabilitasi dampak bencana bisa tetap berjalan cepat. “Presiden bisa mendorong setiap kementerian terkait untuk mengeluarkan SK pemulihan masing-masing dan bersinergi dengan baik, sehingga proses pemulihan bisa berjalan cepat,” katanya.
Sehingga Ratiman bahkan jadi bertanya, siapa sebenarnya di belakang desakan agar bencana ini dijadikan Bencana Nasional? “Jangan-jangan mereka yang diuntungkan yang mendorong penetapan status Bencana Nasional. Korporasi ansuransi dan korporasi penebangan kayu untung. Tetapi korporasi yang punyaj pabrik, aset, mesin, dan lainnya yang diansuransikan, malah buntung,” paparnya.
“Rakyat yang punya aset kendaraan yang dileasing atau ansuransi, juga buntung karena tidak diganti rugi. Rakyat yang kerja pada korporasi yang kena bencana, juga di-PHK. PHK massal bisa terjadi karena kerugian aset korporasi tidak dibayar ansuransi. Sehingga korporasi bangkrut. Makanya saya bertanya, siapa bohir di belakang usul agar ada penetapan ‘Bencana Alam Nasional’,” tutup Ratuman. (RED)


Komentar