Validasi atau pengakuan orang lain merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Hal ini sejalan dengan teori hierarki kebutuhan oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow, manusia memiliki kebutuhan penghargaan yang meliputi harga diri, status dan pengakuan orang lain.
Kebutuhan akan validasi orang lain ternyata sudah ada sejak kita masih berusia dini. Contohnya kita menjadi senang ketika orang tua memuji kita. Sebaliknya, kita menjadi sedih ketika orang tua memarahi kita sebagai anak nakal. Tanpa kita sadari, saat sudah dewasa pun kita masih membutuhkan kebutuhan validasi orang lain.
Apakah kebutuhan validasi orang lain merupakan hal buruk sehingga perlu dihilangkan? Menurut penulis, kebutuhan validasi tersebut memang diperlukan agar manusia bisa termotivasi menjadi lebih baik lagi. Namun kebutuhan validasi orang lain dapat pula menjadi racun apabila kita terlalu melekat padanya.
Istilah haus validasi menjadi populer sejalan dengan perkembangan sosial media. Haus validasi adalah keinginan yang sangat kuat untuk mendapat pengakuan dari orang lain hingga sesorang rela melakukan apa pun. Kabar buruknya, sosial media memberikan fasilitas bagi orang yang haus validasi.
Contohnya setiap orang mengunggah foto kehidupannya demi mendapat tanda “suka” dari orang lain. Bahkan, ada yang rela meminjam uang untuk membeli sepatu, pakaian merk mahal demi terlihat sukses. Tujuannya tidak lain adalah mendapat sebanyak-banyaknya validasi dari orang lain. Menurut penulis, tindakan tersebut tidak menjadikan diri sendiri bahagia, justru membuat diri sendiri menderita.
Pertanyaan selanjutnya, hal-hal apa saja yang menyebabkan seseorang menjadi haus validasi orang lain? Menurut medicalnewstoday.com, beberapa penyebab seseorang rela melakukan apa saja agar mendapat pengakuan orang lain antara lain merasa harga dirinya rendah, kecemasan tidak diterima lingkungan sekitar, takut akan konflik, trauma masa lalu.
Penting bagi kita untuk mengetahui bahwa pengakuan orang lain tidak mencerminkan diri kita yang sebenarnya, tidak akan menjamin kebahagiaan kita. Jika hidup kita selalu mengejar harapan orang lain, maka kita bisa kehilangan jati diri kita. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengurangi haus validasi adalah dengan memulai mencintai diri sendiri.
Mencintai diri sendiri berarti kita sadar akan nilai diri sendiri, sadar apa yang menjadi keinginan kita, sadar bahwa kebahagiaan sejatinya berasal dari menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Berdasarkan kutipan dokersehat.com, manfaat mencintai diri sendiri yaitu :
- Mendapatkan kepuasan hidup karena kita yang bertanggung jawab atas kebahagiaan diri sendiri.
- Mengembangkan harga diri yang sehat karena kita bisa menerima kegagalan adalah proses belajar dan tidak terlalu bergantung dengan validasi orang lain.
Menurut penulis, terdapat empat cara untuk belajar mencintai diri sendiri yaitu :
- Menanamkan pola pikir bahwa diri kita sangat berharga dan ucapan orang lain tidak akan menurunkan nilai diri kita.
- Mulai menerima kekurangan dan kelebihan diri kita.
- Memikirkan cara meningkatkan nilai diri sendiri.
- Memaafkan diri sendiri, jangan terlarut pada masa lalu yang buruk.
Kesimpulan dari penulis adalah jadilah bijak agar segala sesuatunya menjadi tidak berlebihan. Tulisan ini dikhususkan bagi kita yang haus akan validasi orang lain dan kurang mencintai diri sendiri. Hidup kita yang menjalaninya adalah diri kita. Jangan sampai hidup kita seperti bidak catur yang dikendalikan orang lain.
Keputusan untuk berubah menjadi lebih baik atau lebih buruk ada pada genggaman kita. Selalu ingat untuk bersyukur, menerima diri sendiri dan berkembang untuk diri sendri.
Referensi :
https://www.medicalnewstoday.com/articles/people-pleaser#causes
https://tirto.id/teori-kebutuhan-maslow-pengertian-dan-contohnya-gjrV
Suhartommy Salim adalah nama penulis yang memiliki keinginan menjadi inspirasi banyak orang melalui tulisan. Penulis sendiri merupakan lulusan Sarjana Ekonomi tahun 2013 di STIE Triguna Bogor. Ketertarikan penulis diawali dari kesukaannya membaca buku non fiksi, terutama terkait dengan ekonomi dan psikologi. Dari bacaaan tersebut, penulis pun ingin bercita-cita menghasilkan karya non fiksi yang saling membangun ke arah positif.
Komentar