Jakarta, HarianBatakpos.com – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang berlangsung pada 14 dan 15 Januari 2025 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%. Keputusan ini sejalan dengan rendahnya inflasi Indonesia yang tercatat hanya 1,55% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada November 2024.
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menilai bahwa penurunan suku bunga acuan ini merupakan langkah yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, ia mengungkapkan harapannya agar perbankan Indonesia segera melakukan penyesuaian terhadap suku bunga pinjaman atau kredit.
Penurunan BI Rate Dampak Positif untuk Ekonomi Indonesia
“Inflasi kita kan rendah, 1,55%. Jadi, kalau cost of fund tidak turun, bunga pinjaman akan tetap tinggi,” ujarnya setelah acara Munas Konsolidasi Persatuan Kadin RI, yang dilansir pada Senin (20/1/2025). Airlangga berharap dengan penurunan BI Rate, cost of fund perbankan akan ikut turun, yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat suku bunga kredit. Hal ini diharapkan dapat mendorong sektor riil untuk kembali bergerak dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Airlangga menjelaskan bahwa Bank Indonesia sebelumnya menahan suku bunga selama empat bulan sejak Oktober 2024, menunggu keputusan Federal Reserve (the Fed) untuk memangkas suku bunga acuannya. Menurutnya, kebijakan suku bunga BI tidak dapat lebih rendah dari suku bunga AS, karena hal tersebut berisiko menyebabkan capital reversal atau pembalikan modal.
Pelemahan Rupiah Tidak Terlalu Membuat Khawatir
Airlangga juga menyikapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun, dia tidak terlalu khawatir, mengingat fundamental ekonomi Indonesia masih cukup solid. Selain itu, Indonesia juga mencatatkan surplus perdagangan selama 56 bulan berturut-turut, yang menandakan kesehatan ekonomi negara ini. Airlangga menegaskan bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi pelemahan mata uang, bahkan beberapa negara seperti Jepang dan Turki juga mengalami hal serupa.
“Kita punya cadangan devisa yang kuat, sehingga ini adalah gejala global yang tidak hanya dihadapi Indonesia. Bahkan beberapa negara lebih dalam, termasuk Jepang, Turki, dan negara lainnya,” jelasnya.
Komentar