Medan, harianbatakpos.com – Rumah orang tua Rina menjadi sasaran penyerangan ratusan orang tak kenal (OTK). Atas hal itu, wanita ini didampingin tim kuasa hukum mendatangi Ditreskrimum Polda Sumut dan Bidang Profesi dan Keamanan (Bid Propam) Polda Sumut, Senin (15/12/25).
Selain itu, wanita ini juga heran polisi dari Polres Mandailing Natal (Madina) malah membuat tersangka pekerja kebun orang tanya yang ditangkap polisi Polres Mandailing Natal, padahal mereka merupakan korban penyerangan 14 November 2025 kemarin.
“Saya keberatan atas apa yang dialami keluarga saya. Rumah orang tua saya diserang, rumah dibakar bahkan dijarah oleh mereka yang mengaku masyarakat,” ujar Rina Ridayanti.
Adapun pemilik rumah itu adalah ibu dari Rina bernama Masri Saragih. Rumah itu didatangi oleh ratusan orang dan menyerang menggunakan batu, kayu hingga pedang di rumah orang tuanya di Desa Hutapuli, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal pada 14 November 2025 lalu.
Akibatnya, pekerja dari Masri berinisial AD mengalami luka bacok di kepala. Tetapi anehnya, polisi malah menetapkannya sebagai tersangka berikut dua pekerja lain, PT dan AP.
“Jadi saya mau meminta keadilan terhadap keluarga saya dan para pekerja orang tua saya. Mereka korban, sekarang mereka jadi tersangka,” katanya.
Selain itu, menurut Rina bahwa polisi juga menjerat pekerja orang tuanya yang lain dengan UU Darurat serta pasal pengancaman karena meletuskan air sofgun ke udara ketika penyerangan terjadi.
“Dia melakukan itu karena merasa terancam karena melihat kawannya dibacok, dan dia tembakan ke udara bukan kepada para penyerang. Tapi itu juga jadi menyeretnya ke penjara. Sekarang pekerja orang tua saya yang jadi tersangka satu dirawat di RS karena luka bacok sebanya 72 jahitan dan satu lagi yang meletuskan air sofgun itu dan satu yang tidak melakukam apa-apa,” tegas dia seraya mengatakan air sofgun itu digunakan untuk mejaga kebun.
Hal senada juga disampaikan Nur Sakdiah istri AD (korban pembacokan), ia mengatakan suaminya saat ini di rumah sakit dan telah berstatus sebagai tersangka.
“Kepalanya luka bacok, dan jarinya nyaris putus. Tapi malah dia yang jadi tersngka. Dia adalah korban penganiayaan penyerangan saat ratusan masyarakat datang 14 November 2025 kemarin,” ungkapnya.
Begitu juga yang diutarakan Efrida Istri dari AP. Ia mengaku suaminya ditangkap bahkan tidak melakukan apapun.
“Bahkan dia mengaku jadi sasaran pemukulan oknum penyidik. Kami dikasih tau disaat kunjungan besuk ke Polres Madina,” lirihnya.
Sementara itu, Muhammad Sulaiman Harahap SH selaku kuasa hukum ke-tiga korban yang yang saat ini menjadi tersangka di Polres Mandailing Natal sangat menyayangkan sikap Polres Madina. Dimana mereka menetapkan korban sebagai tersangka.
Mereka juga minta kepada Kapolda Sumut dan meminta permohonan gelar perkara khusus ke Biro Wasidik Ditreskrimum Polda Sumut atas penetapan tersangka terhadap para korban penyerangan.
“Dimana dari hasil kejadiaan itu terekam bukti rekeman kamera CCTV yang juga telah kami serahkan ke Biro Wasidik. Yang mana ada banyak orang menyerang menggunakan kayu, batu hingga sajam saat itu,” katanya.
Selain itu, lanjut Sulaiman, mereka juga membuat laporan ke Propam Polda Sumut terkait pelanggaran kode etik terkait aksi Waka Polres Mandailing Natal yang terekam di media sosil (medsos) yang diduga ‘mengajak’ masyarakat untuk melaporkan para korban, padahal dalam vidio itu, masyarakat menolak ajakan itu. Ungkapan Waka Polres Madina itupun viral dan beredar luas di medsos.
“Dan selain itu, kenyataan yang ada menurut saksi fakta bahwa klien kami belum pernah dimintai keterangan apapun oleh pihak kepolisian, mereka langsung ditetapkan sebagai tersangka tipe A yang dimana seharusnya klienn kami sebagai korban. Untuk hal itu, kami membuat laporan ke Propam Polda Sumut atas sejumlah kejanggalan itu,” sebutnya.
Kemudian, untuk korban mengalami luka bacok, hingga 72 jahitan dan tangan hampir putus. Akan tetapi, polisi tidak menerbitkan laporan tipe A.
“Jadi, klien kami ditersangkakan atas laporan Tipe A. Seharusnya polisi juga membuat laporan Tipe A terhadap klien kami yang menjadi korban pembacokan sampai 72 jahitan. Bukan malah memtersangkakan klien kami dengan laporan Tipe A. Ini yang menjadi keliru, korban dijadikan tersangka,” tegasnya.
Belum lagi, ditambahakannya, 1 dari 3 orang yang ditetapkan sebagai tersangka juga mengaku telah menjadi korban penganiayaan oleh oknum penyidik saat dilakukan pemeriksiaa. Hal itu terungkap ketika mereka membesuk korban ke sel tahanan.
“Dan itu juga salah satu laporan kami di Propam Polda Sumut. Tujuannya ke penyidik dan Waka Polres, karena yang datang saat kerusuhan adalah Waka Polres,” ucapnya.
Untuk itu, ia berharap kepada Propam agar laporan ini segera ditindak lanjuti, karena ia menyakini propam merupkan tempat untuk mempfilter oknum yang melakukan kesewenang-wenangan.
“Bahkan dari ketiga nya dilakukan Berita Acara Perkara (BAP) yang dimana di dalam KUHAP telah secara jelas diatur bahwa ancaman hukuman 5 tahun atau lebih patut harus didampingi kuasa hukum. Hal tersebut merupakan sikap kesewenangan. Terkait 3 orang yg ditangkap tidak didampingi kuasa Hukum tentu hal tersebut menodahi dan memperkosa konstitusi dan hukum,” tandasnya.
Menanggapi pengaduan itu, Kasubbid Penmas Polda Sumut, AKBP Siti Rohani mengatakan, pihaknya akan menindaklanjutinya sesuai dengan prosedur.
“Tentunya, setiap laporan masyarakat yang kita terima akan diproses sesuai mekanisme yang ada,”terangnya.(BP7)


Komentar