New York, harianbatakpos.com – Ketegangan perang Iran-Israel kini memicu kekhawatiran global. Konflik bersenjata yang semula terbatas antara dua negara tersebut, mulai menyisakan ketakutan akan potensi meluasnya perang Timur Tengah, terutama jika Amerika Serikat dan negara-negara Teluk ikut terseret. Para analis keamanan menyebut situasi ini sebagai ancaman geopolitik paling serius dalam dekade terakhir.
Di forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seruan damai dan permintaan untuk menahan diri terus digaungkan. Namun, jika peringatan ini diabaikan, maka konflik militer ini dapat berubah menjadi perang global yang melibatkan kekuatan besar seperti Amerika Serikat.
Iran dan Amerika berada dalam posisi genting. Iran menuding bahwa AS diam-diam mendukung serangan Israel. Hal ini membuat fasilitas militer AS di Irak dan Teluk menjadi target potensial serangan balasan. Selain itu, proksi Iran seperti milisi bersenjata di Irak masih memiliki kekuatan untuk mengguncang stabilitas kawasan.
AS telah memperingatkan bahwa jika ada serangan terhadap warganya, termasuk di Tel Aviv, maka respons militer akan dilakukan. Presiden Donald Trump yang selama ini menghindari “perang abadi”, bisa saja terpaksa mengerahkan kekuatan militer demi membela kepentingan nasional dan Israel.
Militer AS disebut satu-satunya yang memiliki bom penghancur bunker yang mampu menjangkau pusat fasilitas nuklir Iran yang berada di bawah tanah, seperti di Fordow. Keterlibatan langsung AS bisa mengakibatkan eskalasi perang yang sulit dihentikan.
Skenario mengerikan lainnya adalah jika negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab turut menjadi sasaran rudal Iran. Target yang dianggap “lunak” seperti ladang minyak, infrastruktur energi, hingga pangkalan udara AS di kawasan Teluk bisa menjadi titik serangan. Serangan semacam ini pernah terjadi, seperti pada 2019 saat ladang minyak Saudi diserang, serta serangan Houthi ke UEA pada 2022.
Jika fasilitas militer atau energi diserang, kemungkinan besar negara-negara Teluk akan meminta bantuan militer dari AS. Hal ini memperkuat kemungkinan pecahnya konflik regional skala besar di kawasan Timur Tengah.
Sementara itu, Israel menghadapi tantangan dalam menghancurkan fasilitas nuklir Iran yang tersembunyi dalam bunker bawah tanah. Jika Israel gagal, maka dampaknya bisa memotivasi Iran untuk mempercepat program nuklirnya dan mencapai senjata pemusnah massal.
Ketidakberhasilan Israel bisa memaksa mereka melakukan serangan lanjutan yang mengikat kawasan dalam siklus konflik tak berkesudahan. Israel sendiri menyebut strategi ini sebagai “memotong rumput”, yaitu melakukan serangan berkala untuk melemahkan musuh.
Konflik ini juga berpotensi memicu krisis ekonomi global. Jika Iran menutup Selat Hormuz atau Houthi menggencarkan serangan ke pelayaran di Laut Merah, maka harga minyak dunia akan melambung tinggi. Negara-negara yang saat ini sedang menghadapi krisis biaya hidup akan terdampak lebih buruk akibat kenaikan inflasi.
Situasi ini juga bisa memperkaya Rusia, karena harga minyak tinggi akan menambah pendapatan Kremlin untuk membiayai perang di Ukraina.
Yang paling menakutkan, jika serangan Israel berhasil menjatuhkan pemerintahan Iran, kekosongan kekuasaan bisa menciptakan konflik sipil baru yang tak terkontrol, seperti yang pernah terjadi di Irak dan Libya. Kejatuhan rezim Teheran bisa menimbulkan kekacauan besar di wilayah tersebut dan mengubah keseimbangan geopolitik dunia.
Ikuti saluran Harianbatakpos.com di WhatsApp:
https://whatsapp.com/channel/0029VbAbrS01dAwCFrhIIz05
Komentar