“Satu kekhawatiran yang kami miliki adalah bahwa kami melihat ledakan dalam sejumlah tindakan pembatasan perdagangan,” kata Direktur Departemen Riset IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, saat konferensi pers World Economic Outlook Update edisi Juli 2024, dikutip Rabu (17/7/2024). Dengan meningkatnya jumlah pembatasan perdagangan hingga 3.000 pada 2023, IMF menyoroti dampak serius terhadap aktivitas perdagangan global.
IMF mencatat bahwa pada 2019, kebijakan pembatasan perdagangan hanya mencapai 1.000 pemberlakuan. Bentuk dari kebijakan ini meliputi restriksi ekspor dengan tarif tinggi, serta langkah-langkah di sektor industri yang mengurangi komponen produksi dari luar negeri. “Kami telah melihat lebih dari 3.000 tindakan seperti itu diterapkan pada tahun lalu. Ini naik dari 1.000 tindakan pada 2019, dan bukan semakin surut, melainkan terus meningkat,” tegas Pierre.
Salah satu penyebab meningkatnya kebijakan pembatasan perdagangan global ini adalah adanya kebijakan retaliasi yang berkelanjutan. Negara yang menerapkan tindakan pembatasan perdagangan biasanya akan mendapat balasan dari mitra dagangnya. “Kami melihat bahwa ketika suatu negara memberlakukan tindakan pembatasan perdagangan, ada pembalasan yang segera terjadi, dan ini mengurangi aktivitas perdagangan,” tutur Pierre.
Dampak dari situasi ini tidak hanya terbatas pada perdagangan, tetapi juga mempengaruhi difusi pengetahuan dan arus modal global, serta meningkatkan ketidakpastian dalam ekonomi. “Hal ini membuat negara-negara lebih rentan,” tegasnya.
Di Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyoroti kekhawatiran yang sama terkait kebijakan pembatasan perdagangan. Menurutnya, perang dagang saat ini tidak main-main karena eskalasinya sangat luar biasa. “Dilihat dari restriksi dagang antar negara, antara blok di Amerika dan RRT,” kata Sri Mulyani dalam rapat dengan Badan Anggaran (Banggar), Selasa (4/6/2024).
Sri Mulyani mencatat, pada 2019 terdapat 982 restriksi perdagangan baru, meningkat menjadi 2.491 restriksi pada 2022, dan kini mencapai 3.000 restriksi. Salah satu contohnya adalah pemberlakuan tarif tinggi bagi mobil listrik asal China oleh pemerintah Amerika Serikat. “Nilainya sangat signifikan, tarif yang diberlakukan oleh pemerintah Biden mencapai 100%,” ungkapnya.
Kondisi ini jelas menimbulkan disrupsi dalam perdagangan global. Di sisi lain, negara-negara kini juga mengakomodasi kebijakan industri. “Praktik ini kini menjadi normal, negara menerapkan industrial policy untuk mengamankan ekonomi dan industri masing-masing,” kata Sri Mulyani.
Contoh kebijakan industri yang dimaksud termasuk chip act atau undang-undang semikonduktor serta Inflation Reduction Act (IRA) di AS. Meskipun IRA terlihat seperti kebijakan untuk menurunkan inflasi, sebenarnya aturan ini bertujuan untuk membawa kembali investasi asing, terutama dari China, ke AS.
Komentar