Berita Headline
Beranda » Berita » Peringatan Hari Tani Nasional 2024 Darurat Agraria Sumatera Utara

Peringatan Hari Tani Nasional 2024 Darurat Agraria Sumatera Utara

Medan_harianbatakpos.com – Hari Tani Nasional (HTN) biasa sering disebut sebagai lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Hari Tani Nasional ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani oleh Presiden Soekarno.

Sumatera Utara sampai sekarang masih menjadi provinsi yang memiliki letusan konflik agraria tertinggi disebabkan karena negara (pemerintah khususnya) tidak menjalankan dan melaksanakan reforma agraria seperti yang dimandatkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.

UUPA sendiri merupakan manifestasi dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang memandatkan negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi Bangsa Indonesia untuk mengatur peruntukan, penggunaan, pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria agar lebih berkeadilan dan memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat melalui reforma agraria.

Profil Bakhtiar, Wakil Bupati Batanghari Terpilih

Catatan Akhir Tahun KPA tahun 2023 menunjukkan bahwa letusan konflik tertinggi yang terjadi masih berada di Provinsi Sumatera Utara, dengan jumlah mencapai 33 dengan luas mencapai 34.090 hektar dan korban terdampak sebanyak 11.148 kepala keluarga.

Letusan konflik tersebut tersebar di 25 desa di berbagai kabupaten, di mana hampir bisa dipastikan kesemuanya adalah petani dan masyarakat adat yang tidak berdaya, yang dirampas ruang hidupnya melalui perampasan tanah dengan dalil penyelamatan aset negara, wilayah kawasan hutan, PSN, ketahanan pangan nasional (food estate), dan kawasan wisata premium. Situasi agraria di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, sedang dalam keadaan mengerikan.

Terbukti dari banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh korporasi dengan pemerintah melalui upaya paksa penggusuran terhadap petani dengan berbagai teknis dan gaya, sebagai mana pola yang disampaikan di bawah ini:

A. Sebaran Kehilangan Penghidupan Petani dan Masyarakat Adat

DPR Soroti Basarnas Saat Evakuasi Juliana Marins di Rinjani

Dalam catatan Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA) selama 3 tahun terakhir, setidaknya ada 259 hektar lokasi yang dikuasai kampung BPRPI dengan total 521 keluarga dan 2.176 jiwa yang terpaksa tidak lagi dapat penghidupan yang layak karena dirampas tanahnya oleh PTPN II (Kampoeng Duren Selemak dan Kompoeng Partumbukan, Kab. Langkat).

Sedangkan di Deli Serdang, dengan proyek Sport Center, sangat berpotensi 9 hektar dan 50 keluarga (120 jiwa) bakal kehilangan tanah dan penghidupannya yang berada di Kampoeng Tumpatan Nibung, Desa Sena, Deli Serdang.

Lokasi lain yang sangat berpotensi merugikan dan menyengsarakan petani dan masyarakat adat adalah proyek Jalan Tol Stabat-Langsa yang menggusur lahan petani dan masyarakat adat seluas 117 hektar yang dikelola oleh masyarakat kampung Pantai Gemi, berjumlah 172 keluarga dan 618 jiwa.

Rencana proyek lainnya adalah proyek Deli Mega Politan, di mana seluas 1.303 hektar tanah yang dikuasai 2.797 KK (atau 10.347 jiwa) akan digusur sehingga akan terjadi kemiskinan struktural.

Belum lagi kita melihat sebaran di wilayah lain. Di Serdang Bedagai terdapat 121 hektar tanah yang dikuasai oleh petani Karya Mandiri Dolok Merawan, berjumlah 118 keluarga dan 449 jiwa, yang digusur pada bulan Juni 2024 dengan dalil penyelamatan aset negara oleh pihak PTPN IV kebun Bangun.

Sedangkan di Kota Pematangsiantar, Kelurahan Gurilla, organisasi rakyat Futasi menguasai lahan seluas 126 hektar dan dikuasai sejak 2004 oleh 350 keluarga dengan 1.208 jiwa yang juga mengalami pengusuran yang dilakukan PTPN III yang sekarang menjadi PTPN IV region 1 kebun Bangun sejak tahun 2021 hingga sekarang.

Hal ini berdampak hilangnya sumber penghidupan masyarakat, di mana banyak yang menjadi korban kekerasan dan dihukum penjara, padahal lokasi-lokasi tersebut sudah diusulkan menjadi Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) di Kementerian ATR/BPN sejak tahun 2017. Sayangnya, sampai saat ini belum ada tindak lanjut atau kepastian atas hal tersebut.

Kasus lainnya adalah kelompok Tani Lepar Lau Tengah yang terpaksa berhadapan dengan PT. Nirvana, perusahaan Memorial Nusantara yang bergerak di bidang pengadaan pekuburan elit. Dalam perjalanannya, terjadi peralihan hak atas kepemilikan tanah seluas ± 75 Ha dengan dalil bahwa PT. Nirvana Memorial Nusantara telah melakukan Akta Jual Beli sebanyak 63 bidang tanah sebagai dasar terbitnya 63 Sertifikat HGB atas nama PT. Nirvana Memorial Nusantara.

Namun, menariknya, tidak ada satupun orang yang menandatangani ke-63 Akta Jual Beli yang merupakan warga Desa Rambung Baru; malah warga lain dari desa lain. Belum lagi soal sertifikat tersebut terdaftar di Desa Bingkawan, padahal di lapangan jelas bahwa lokasi PT. Nirvana ada di Desa Rambung Baru.

Kami sangat menduga kuat bahwa ini merupakan permainan mafia tanah. Secara geografis, lahan yang akan diolah tersebut merupakan dataran tinggi yang sangat berpotensi kuat menimbulkan dampak lingkungan yang berkepanjangan.

Selanjutnya, kasus masyarakat adat yang mempertahankan wilayah adatnya, Sdr. Sorbatua Siallagan dari masyarakat adat kampung Dolok Parmonangan, Desa Pondok Buluh, Kec. Dolok Panribuan, Kab. Simalungun, menjadi korban kriminalisasi dan hukuman pidana.

Beliau memperjuangkan tanah adatnya, namun dituduh menduduki dan membakar hutan konsesi Toba Pulp Lestari (TPL) dan divonis bersalah serta ditahan selama 2 tahun penjara dengan denda 1 miliar.

B. Intimidasi dan Kriminalisasi

Pejuang agraria yang tergabung dalam APARA sering mendapatkan intimidasi dan kriminalisasi. Jumlah keseluruhan pejuang agraria yang harus berhadapan dengan hukum yang belum adil berdasarkan catatan APARA adalah sebanyak 12 orang.

Bentuk intimidasi dan kriminalisasi tersebut meliputi pemanggilan dari aparat yang berwenang, tekanan psikologis yang diduga berasal dari unsur pemerintah lokal, perwakilan perusahaan, serta pihak lain yang memiliki kepentingan pada lahan yang dikuasai rakyat.

Tentu apa yang terjadi di atas merupakan upaya yang tidak fair dan tidak berbasis pada norma hukum yang ada. Masyarakat yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan dan memperjuangkan lahannya agar tidak dirampas, harus berhadapan dengan intimidasi dan kriminalisasi sebagaimana diterangkan di atas.

Belum lagi soal sebagian wilayah yang telah menjadi lokasi LPRA, harus berhadapan dengan persoalan yang sama. Tentu ini membuat kita miris dan sangat tidak berkeadaban serta bermoral.

Oleh sebab itu, berdasarkan apa yang kami sampaikan di atas, kami dari APARA mendesak dan menuntut:

1. Usut tuntas mafia tanah dan korupsi agraria di Kantor Wilayah ATR/BPN Sumatera Utara;
2. Tangkap dan adili mafia tanah di lokasi prioritas reforma agraria;
3. Jangan terbitkan izin dan sertifikat HGU/HGB di atas tanah yang berkonflik dan beri perlindungan kepada petani, masyarakat adat, dan aktivis HAM, lingkungan, serta mahasiswa;
4. Hentikan berbagai tindakan intimidatif, represif, dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat yang memperjuangkan tanah adatnya;
5. Hentikan berbagai upaya penggusuran dan perampasan tanah menggunakan kekerasan serta pelibatan aparat dengan dalil penyelamatan aset negara;
6. Laksanakan reforma agraria sejati dan tegakkan UUPA dalam penyelesaian agraria di Sumatera Utara;
7. Utamakan pemenuhan hak rakyat dalam program PSN atau program lainnya yang berpotensi menghilangkan penghidupan bagi petani dan masyarakat adat;
8. Menolak keberlanjutan proyek dan korporasi yang menyengsarakan petani dan masyarakat adat seperti proyek Deli Mega Politan, Sport Center, PTPN II & IV, PT. Dairi Prima Mineral, dan PT TPL.

Dibutuhkan kepekaan dalam memandang konflik-konflik agraria di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Bahwa konflik agraria bukanlah kasus individual dan insidental semata, melainkan persoalan bersama yang bersifat struktural.

“Wujudkan Reforma Agraria Sejati! Hidup Rakyat! APARA (Aliansi Pejuang Reforma Agraria).”

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *