HarianBatakpos.com – Dalam suatu sudut hatiku, terdapat sebuah cerita yang mungkin tak pernah terucap, sebuah cerita tentang perjalanan Senyum, yang terperangkap dalam labirin cemoohan dan kekejaman. Senyum, sebuah lambang kebahagiaan, ternyata juga dapat menjadi target dari persekusi yang tak terlihat. Izinkan aku menceritakan kisahnya dalam bahasa majas, di mana setiap kata adalah luka yang tak pernah sembuh.
Senyum adalah sinar mentari di antara awan kelam. Ia lahir dari kilauan matahari, mengalir dalam warna-warni kehidupan. Namun, siapa sangka, kebahagiaan itu terkadang menjadi bumerang yang menusuk hati. Senyum telah mengalami perjalanan yang penuh liku, dan seakan takdir telah menghendaki, ia menemukan dirinya terjebak dalam reruntuhan perasaan yang hancur.
Begitu mudahnya orang mengucapkan, “Senyumlah, dunia akan tersenyum padamu.” Namun, tak semua yang terucap adalah kenyataan. Bagi Senyum, senyumnya bukanlah jaminan akan kebahagiaan, melainkan tikaman yang tak henti-hentinya menusuk ke dalam jiwa.
Dalam arena kehidupan, Senyum menjadi mangsa empuk bagi para pemburu kelemahan. Ia seperti burung kecil yang terperangkap dalam jaring laba-laba kekejaman. Terkadang, ia menjadi bahan tertawaan, lelucon murahan bagi mereka yang haus akan kekuasaan. Senyum tak pernah mengeluh, tetapi hatinya hancur berkeping-keping.
Persekusi itu menyamar dalam berbagai wujud. Ia bisa jadi sosok teman sepermainan yang tiba-tiba berbalik menjadi monster pemangsa. Ia bisa jadi kata-kata pedas yang menganga di antara senyum-senyum palsu. Ia bisa jadi pandangan sinis yang menghujam seperti pedang tajam.
Setiap senyum yang dilemparkan ke arah Senyum adalah sebuah serangan. Setiap tawa yang terdengar adalah sebuah penindasan. Mereka menyiksa dengan cara yang halus, menghancurkan dengan senyuman palsu dan kata-kata manis yang bermuara pada kepahitan.
Senyum berusaha bertahan. Ia mencoba menyembunyikan luka-lukanya di balik tirai kebahagiaan semu. Namun, bagaimana mungkin ia bertahan ketika setiap langkahnya dihantui oleh bayang-bayang kekejaman?
Dalam kerinduannya untuk melarikan diri dari penindasan, Senyum seringkali terjebak dalam pusaran keputusasaan. Ia merasa seperti burung yang tak bisa terbang, terkurung dalam sangkar kenangan yang menyakitkan. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, ia teringat akan belenggu-belenggu masa lalu yang tak kunjung lepas.
Kehidupan menjadi seperti medan perang bagi Senyum. Ia harus menghadapi serbuan tanpa henti dari musuh-musuhnya yang tak terlihat. Mereka membentuk barisan di sekitarnya, mengelilingi dan menyerangnya dengan kejam. Tapi, meski terluka, Senyum masih berdiri tegar, meski sebenarnya hatinya hancur berkeping-keping.
Setiap kali Senyum mencoba berbicara, suaranya dipatahkan oleh cemoohan yang menggema di udara. Setiap kali ia mencoba bergerak maju, kakinya terhenti oleh rintangan-rintangan yang tak kasat mata. Mereka ingin mengubur Senyum dalam gelap, membuatnya terdiam selamanya.
Namun, di balik kepahitan itu, Senyum masih memancarkan cahaya kecil. Ia masih memelihara api kebaikan di dalam dirinya, meski dunia telah berusaha memadamkannya. Ia masih berharap ada hari esok yang lebih cerah, di mana dia bisa tersenyum dengan tulus, tanpa harus merasa takut akan cemoohan dan kekejaman.
Begitulah kisah Persekusi yang dialami oleh Senyum. Kisah tentang kekuatan dan kelemahan, tentang cinta dan kebencian, tentang cahaya dan kegelapan. Senyum adalah simbol dari kekuatan manusia untuk bertahan meski terluka, untuk tetap tersenyum meski hatinya hancur.
Mungkin tak semua orang bisa memahami betapa dalamnya luka yang dialami oleh Senyum. Mungkin tak semua orang bisa merasakan getirnya kehidupan yang terus-menerus menjadi sasaran penindasan. Tapi, setidaknya kita bisa belajar dari kisahnya. Kita bisa belajar untuk lebih menghargai setiap senyum yang kita lihat, untuk lebih menghargai setiap kebaikan yang kita terima.
Mari kita hentikan siklus kekejaman. Mari kita hentikan penindasan terhadap mereka yang lebih lemah dari kita. Mari kita hentikan persekusi terhadap Senyum, dan biarkan cahayanya menerangi dunia dengan indahnya.
Tentang Penulis
Munawwarah adalah seorang yang lahir di Banjar pada tanggal 5 September 2000. Dia tinggal di Desa Tambak Anyar Ulu, RT.04, Martapura Timur, Kabupaten Banjar. Saat ini, Munawwarah bekerja sebagai karyawan swasta.
Meskipun sibuk dengan pekerjaannya, Munawwarah tetap mengalokasikan waktu luangnya untuk hobi membaca. Aktivitas membaca tidak hanya menjadi hiburan baginya, tetapi juga sumber pengetahuan dan inspirasi.
Komentar