Medan, HarianBatakpos.com – Penerapan hukum bernuansa syariah di Indonesia telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Meskipun negara ini tidak menerapkan hukum Islam secara menyeluruh, nilai-nilai yang terkandung dalam Islam tetap diintegrasikan ke dalam hukum positif, baik di tingkat Undang-Undang maupun Peraturan Daerah (Perda). Hukum bernuansa syariah ini mencerminkan perjalanan panjang sejarah hukum di Indonesia.
Sejak tahun 1974, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia sudah mulai mengakui hukum yang sesuai dengan ajaran agama. Aturan ini menegaskan bahwa sahnya perkawinan hanya dapat diperoleh jika sesuai dengan agama. Di sisi lain, setelah era Orde Baru, munculnya Perda syariah di berbagai daerah menunjukkan peningkatan penerapan nilai-nilai Islam dalam hukum daerah, dikutip dari kompas.com.
Namun, penerapan hukum bernuansa syariah ini tidak lepas dari kritik. Misalnya, Ayu Saputri, seorang karyawan swasta, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap beberapa Perda yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan. “Kan ada tuh Perda yang ngelarang perempuan keluar rumah sampai Perda soal berbusana tertentu bagi perempuan. Kalau itu tidak setuju,” katanya. Hal ini mencerminkan kekhawatiran banyak pihak mengenai dampak negatif dari hukum yang tidak adil.
Di sisi lain, ada juga pendapat yang mendukung penerapan hukum syariah, seperti Mareta Putri, yang menganggap UU Perkawinan sudah sesuai dengan ajaran Islam. Ia juga setuju dengan konsep hukum perbankan syariah dan pengelolaan zakat yang dapat membantu masyarakat.
Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Hukum bernuansa syariah di Indonesia harus mampu menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama dan hak asasi manusia, terutama dalam hal perlindungan perempuan. Hal ini menjadi tantangan bagi pembuat kebijakan untuk menciptakan aturan yang adil dan merangkul semua lapisan masyarakat.
Komentar