Ekbis
Beranda » Berita » PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nickel) Rencanakan PLTS Atap Sebesar 40 MWp pada 2024

PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nickel) Rencanakan PLTS Atap Sebesar 40 MWp pada 2024

PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nickel) Rencanakan PLTS Atap Sebesar 40 MWp pada 2024
PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nickel) Rencanakan PLTS Atap Sebesar 40 MWp pada 2024

PT Trimegah Bangun Persada Tbk, yang dikenal dengan nama Harita Nickel, berencana untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dengan kapasitas sebesar 40 Megawatt Peak (MWp) pada tahun 2024 ini. Tonny Gultom, Direktur Health, Safety, and Environment perusahaan, mengungkapkan bahwa kapasitas 40 MWp ini merupakan tahap awal dari target pembangunan PLTS Atap yang lebih besar sebesar 300 MWp.

“Pada tahun ini, kita akan membangun PLTS dengan kapasitas 40 Megawatt Peak (MWp). Kapasitas ini merupakan bagian dari rencana keseluruhan PLTS Atap sebesar 300 MWp yang menjadi upaya transisi energi untuk mengurangi emisi karbon,” ujar Tonny dalam acara Mining for Journalist Workshop ke-2 di Jakarta.

Rencananya, PLTS ini akan ditempatkan di atap pabrik milik perusahaan, dan ke depannya, juga akan dibangun di atas lahan bekas tambang yang dimiliki oleh Harita Nickel. Tonny menyebut bahwa pembangunan PLTS Atap ini membutuhkan investasi yang cukup besar dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), mengingat satu Megawatt memerlukan sekitar 1 hektar lahan.

Whoosh Sudah Mampu Menutup Biaya Operasional

“Pembangunan PLTS Atap ini membutuhkan investasi yang cukup mahal apabila dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) karena satu Megawatt itu membutuhkan sekitar 1 hektar lahan,” jelas Tonny.

Harita Nickel menargetkan pembangunan PLTS Atap sebesar 300 MWp sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi emisi karbon dan mendukung Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Tonny memperkirakan biaya pembangunan PLTS Atap sebesar 300 MWp dapat mencapai 300 juta sampai 450 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp4,5 triliun sampai Rp6,75 triliun.

Saat ini, perusahaan masih dominan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara sebagai sumber energi untuk mendukung operasional bisnisnya. Langkah ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang berusaha secara bertahap menghentikan operasional PLTU batu bara sebagai langkah menuju Net Zero Emission pada tahun 2060.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *