Medan-BP: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan terkejut dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli dengan Nomor register perkara No. 2730/Pid.Sus/2020/PN LBP atas tindak pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur yang dilakukan oleh terdakwa Bulo Gohae, Selasa 16 Maret 2021.
Pimpinan majelis berinisial MATT, memutus perkara a quo dengan sangat ringan yang mana terdakwa diputus dengan 5 (lima) tahun penjara dan denda 800.000.000 (Delapan Ratus Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana Kurungan selama 3 (Tiga) bulan.
“Padahal tuntutan Jaksa Penuntut Umum 12 (dua belas) Tahun penjara dan denda 800.000.000 (Delapan Ratus Juta Rupiah) subsider 6 (enam) Bulan Penjara perlu diketahui jika putusan tersebut putusan yang paling singkat yang tertuang dalam Pasal 81 ayat (1) UU Nomor : 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,” kata Wakil Direktur LBH Medan, Irvan Saputra kepada sejumlah awak media.
LBH Medan menduga ada kejanggalan atas putusan yang sangat ringan oleh majelis hakim. Seharusnya Majelis Hakim memberikan hukum yang berat terhadap terdakwa guna memberikan efek jera terhadapnya dan memberikan pencegahan terhadap masyarakat untuk melakukan hal tersebut.
“LBH juga menyebut hakim tidak mempertimbangkan tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap Anak/pencabulan merupakan Kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) sebagai mana pernyatan Presiden Joko Widodo ditahun 2017 lalu, seharusnya wajib diterapkan penegakan hukum luar biasa (Extraordinary Law). Ini sepertinya tidak diterapkan majelis hakim,” tegasnya.
Perlu diketahui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan sebelumnya melakukan pemantau dan pendampingan anak korban saat sidang perkara a quo yang agendanya pemeriksaan saksi anak korban mengalami kesulitan karena Hakim Ketuanya diduga berulang kali mengusir penasehat hukum anak korban dengan alasan harus lembaga resmi seperti KPAI padahal.
Padahal, penasehat hukum telah menunjukan surat kuasa dan menyampaikan dasar hukum sebagaimana berdasarkan Pasal 23 Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang.
“Sangat mengecewakan hakim ketua memukul meja dan bersidang tanpa menggunankan Toga serta menyuruh penasehat hukum anak korban untuk keluar dengan nada yang lantang “Kau Keluar, keluar. diduga perbuatan hakim tersebut telah melanggar Kode Etik Hakim dalam Berperilaku Adil sebagaimana Surat Keterangan Bersama Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 DAN Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 dan tidak memberikan rasa keadilan kepada korban,” tuturnya.
Dalam hal ini, LBH Medan telah membuat Pengaduan atas putusan yang sangat ringan dan sikap hakim sebagaimana surat pengaduan No; 58/LBH/PP/III/2021 tertanggal 03 Maret 2021 ke Mahkamah Agung (MA) RI, Badan Pengawasan MA RI, Komisi Yudisial (KY) RIdan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) karena diduga telah melanggar Pasal 28B ayat (2) Jo 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindugan dari kekerasan dan diskriminasi”.Pasal 2 tentang Konvensi PBB untuk Hak Anak berbunyi “Hak-hak anak berlaku atas semua anak tanpa terkecuali.
“Anak harus dilindungi dari segala jenis diskriminasi terhadap dirinya atau diskriminasi yang diakibatkan oleh keyakinan atau tindakan orangtua atau anggota keluarganya yang lain” Surat Keterangan BersamaNomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 DAN Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 tertanggal 08 April 2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim, Pasal 22 “Hakim dan Jaksa Tidak Memakai Toga saat pemeriksaan Anak Korban, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Dimana LBH Medan meminta agar hakim tersebut diberikan tindakan/sanksi dan kedapanya hal seperti ini tidak terulang kembali,” terangnya.(BP/Reza)
Komentar