Opini
Beranda » Berita » Reformasi Kepolisian Republik Indonesia

Reformasi Kepolisian Republik Indonesia

Prof Dr Yuddy Chrisnandi SH SE MM

Oleh: Prof Dr Yuddy Chrisnandi SH SE MM

DISAHKANNYA Revisi Undang-Undang 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pada 20 Maret 2025 yang diajukan pemerintah oleh DPR merupakan ‘set-back’ gerakan reformasi nasional 27 tahun lalu. DPR telah gagal memahami makna-substansi dan filosofi-historis dari lahirnya era reformasi nasional yang diawali oleh reformasi internal ABRI yang menjadi momentum kejatuhan rezim kekuasaan Orde Baru, 21 Mei 1998.

Memperbanyak lembaga sipil untuk diduduki oleh anggota TNI aktif dan membiarkan anggota polisi aktif menduduki instansi-instansi sipil, nyata bertentangan dengan kehendak reformasi internal ABRI yang memisahkan fungsi-tugas-kedudukan-kelembagaan TNI-Polri untuk menanggalkan peran politik praktis serta meninggalkan lembaga-lembaga sipil yang tidak diatur oleh undang-undang. Profesionalisme TNI-Polri yang sejati, akan terus menjadi tuntutan masyarakat negara demokrasi. Adalah suatu kekeliruan besar pemerintah, membiarkan TNI- Polri melangkah ke ruang-ruang sipil, membawa bayang-bayang dwifungsi ABRI dari Zaman Orde Baru di Era Gen-Z, yang sarat dengan informasi serta kesadaran pengetahuannya tentang supremasi sipil.

Belum reda amarah para penggiat demokrasi dan mahasiswa menyikapi revisi UU TNI yang minim dialog publik, mulai tersiar kabar akan adanya pembahasan Revisi Undang Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Wacana untuk melegalkan keberadaan polisi aktif di instansi-instansi sipil yang saat ini diduduki oleh tidak kurang dari 50 perwira tingginya, jelas melanggar UU Kepolisian RI Pasal 28 Ayat 3: Anggota Kepolisian Negara RI dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Yos Tarigan, SH,MH: Pembaruan KUHAP Krusial, APH Dapat Kehilangan Dasar Hukum Penahanan dan Proses Hukum Lainnya

Rencana pemerintah dan DPR melakukan revisi tersebut, justeru akan membawa Kepolisian RI semakin jauh dari profesionalisme yang belum tuntas. Kondisi ini menggambarkan ‘absurditas’ kebijakan pemerintah terhadap kedua institusi pertahanan-keamanan yang salah arah berjalan di era digital yang semakin demokratis di bawah supremasi sipil.

Supremasi Sipil dan Negara yang Sejahtera

Civil supremacy adalah kendali otoritas penuh kekuasaan sipil dalam mengambil keputusan pengelolaan negara terhadap militer dan lembaga keamanan lainnya dalam pemerintahan, secara transparan dan patuh hukum. Supremasi sipil akan mencegah penyalahgunaan pengaruh kekuatan militer dan lembaga keamanan lainnya melakukan kegiatan di luar prinsip profesionalitas, mencegah terjadinya kudeta militer, menjamin stabilitas politik dan meningkatkan demokrasi dengan partisipasi yang besar dari rakyat.

Supremasi sipil identik dengan negara yang demokratis , yang bercirikan: Pemilu yang bebas intervensi-adil-transparan, menjunjung tinggi HAM serta kebebasan berpendapat-kritik-berekspresi tanpa intimidasi, pemerintahan yang transparan membuka akses informasi adminsitrasi-keuangan-kebijakan yang bertanggungjawab, tegaknya keadilan hukum tanpa diskriminasi dan keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka secara partisipatif.

Cara Menghitung Matematika dengan Baik dan Benar, 90+6= 96 Bukan 99!

Indikator negara yang demokratis, secara ideal sekurangnya dipraktekan oleh 20 negara di dunia yang memiliki nilai indeks demokrasi tertinggi sebagaimana dilaporkan Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2024, di antaranya adalah: Norwegia, Selandia Baru, Belanda, Jerman, Kanada, Australia, Jepang, Ingris , dengan score berkisar dari 8,14 hingga 9,81(rentang nilai 1-10).

Di negara-negara tersebut tentara aktif termasuk polisi dilarang masuk pada jabatan sipil, kecuali alih status (pensiun) atau dalam keadaan darurat (state of emergency). Ketentuan yang sama berlaku juga di Amerika Serikat, Perancis, Italia, Spanyol, Korea Selatan yang memiliki nilai indek kekuatan militer terbesar dan di banyak negara demokrasi lainnya (Islandia, Swedia, Finlandia, Denmark, Irlandia, Swiss, Taiwan, Luksemburg, Uruguay, Costarica, dll).

Jika kita perhatikan dengan seksama, profil negara-negara tersebut di atas, terdapat korelasi positif antara praktek demokrasi yang berlangsung, supremasi sipil dan kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat dari data bank dunia terhadap pendapatan per kapita negara-negara tersebut yang jauh melampaui di atas angka standar negara industri maju yang sejahtera, sebesar US Dollar 12.000 per tahunnya.

Negara yang sejahtera selain pendapatan per kapita masyarakatnya tinggi, didukung oleh faktor lainnya yaitu: infrastruktur jaringan transportasi-telekomunikasi-teknologi yang canggih, sarana pendidikan dan kesehatan yang baik berkualitas, diversifikasi ekonomi yang bergam dengan sektor industri yang kokoh, stabilitas lingkunghan politik yang mapan kondusif untuk investasi, kualitas lingkungan alam yang baik, stabilitas sosial yang damai dan akses layanan publik yang merata terjangkau . Inilah negara kesejahteraan yang Indonesia impikan sebagaimana negara-negara lain telah memilikinya. Role model negara-negara di atas menempatkan peran tentara dan polisinya proporsional dalam sistem pemerintahan yang demokratis, terbukti sukses mengantarkan menjadi bangsa yang maju, masyarakatnya sejahtera. Mengapa Indonesia tidak menata jalan yang sama untuk masadepan kita sendiri?

Mengembalikan Profesionalisme

Sebelum era reformasi nasional, 1998, selama 32 tahun, Kepolisian RI berada di bawah komando Panglima ABRI sebagai bagian dari matra ke-4 angkatan bersenjata. Reformasi internal ABRI, kemudian memisahkan Polri dan TNI, di mana Polri kedudukannya langsung di bawah Presiden, sementara TNI di bawah komando Panglima TNI dan Menteri Pertahanan secara tidak langsung dalam hal administrasi dan anggaran alutsista.

Dalam kurun waktu 27 tahun Polri telah berkembang pesat dalam hal jumlah personalia, struktur organisasi dan anggarannya. Anggota Polri pada tahun 1998 berjumlah sekitar 230 ribu personil menjadi 477 ribu lebih. Organisasi Kepolisian Daerah kini hadir di semua provinsi di Indonesia. Anggaran sebesar Rp20 triliun pada tahun 1998 kini mencapai lebih dari Rp125 triliun di tahun 2025. Anggota kepolisian yang sebelum reformasi terbatas bertugas di lingkungan kepolisian, saat ini hampir berada di semua instansi kementerian dan lembaga pemerintahan tingkat pusat.

Surat telegram Kapolri yang terbit 12 maret 2025 membuktikan adanya penempatan 25 perwira tinggi dan menengah polri aktif di luar lembaga kepolisian. Di antaranya, mereka ditempatkan di Kantor Kementerian UMKM, Kesehatan, Lingkungan Hidup, ATR/BPN, Kelautan, Dalam Negeri, Kemenpora, Hukum, Imigrasi, hingga di Kantor DPD RI, Badan Gizi Nasional, Badan Pengelolaan Haji.hingga di BP Batam dan instansi lainnya yang telah lebih dahulu diduduki. Penempatan ini, bukan yang pertama kali, sudah berlangsung secara massif pada kurun waktu 2019-2024. Bukan saja menduduki jabatan sipil, polisi juga ditenggarai terlibat dalam kegiatan politik praktis terselubung pada Pemilihan Umum 2019 dan 2024 yang ramai disebut warga-net sebagai ‘parcok’. Sekurangnya ada tiga hal yang dipersoalkan masyarakat sipil demokratis terhadap Polri: Profesionalismenya sebagai pelindung, pengayom-pelayan masyarakat, keterlibatannya dalam politik praktis, dan masuknya ke lembaga-lembaga nonkepolisian tanpa alih status menimbulkan konflik kepentingan tugas (loyalitas ganda).

Catatan panjang yang mempertanyakan profesionalisme polri sebagai prasyarat akuntabiltas kelembagaan, menambah kuatnya tuntutan publik untuk segera memperbaiki lembaga kepolisian. Kontras menyebutkan, sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024 ada 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Sekurangnya ada 20 kasus besar kontroversial dalam kurun 10 tahun yang menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi karena keterlibatan banyak perwira.

Skandal 2 perwira tinggi Polri di tahun 2022 atas kasus pembunuhan dan kasus penjualan narkoba adalah noktah kelam yang tak bisa disapu oleh konferensi pers atau sanksi kode etik. Begitupun berita tersebar adanya keterlibatan perwira tinggi polisi yang menerima suap dalam kasus ‘BBM oplosan’ Pertamina yang ditangani Kejaksaan Agung Bulan februari 2025.

Tindakan tidak terpuji oknum aparat ini tidak saja merugikan kepentingan masyarakat umum pencari keadilan, bahkan merugikan kedalam kepentingan personalia lembaganya sendiri. Penggunaan wewenang yang overdosis, melampaui batas-batas konstitusionalnya melahirkan ‘abuse of power’ dan ‘conflict of interest’ yang cenderung pada perilaku korupsi institusional. Tidak sedikit laporan perihal ‘suap’ internal untuk proses seleksi mengikuti sekolah atau memperoleh jabatan strategis kepolisian.

Sudah menjadi rahasia internal kepolisian, untuk mengikuti sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, untuk mendapatkan promosi jabatan, tidak ada yang gratis. Merit sistem dalam jenjang karier tampaknya terabaikan oleh kedekatan kroni kelompok yang tengah menjadi pimpinan Polri. Prestasi atau ranking tertinggi dalam pendidikan juga bukan lagi hal yang penting diperhatikan untuk promosi jabatan. Kondisi yang berjalan seperti ini, akan berujung pada jalan buntu menemukan pimpinan kepolisian yang profesional di berbagai tingkatan. Yang tersisa hanyalah prajurit pemburu pangkat, jabatan dan kekayaan, yang minim tanggung jawabnya sebagai pelindung-pengayom dan pelayan masyarakat.

Wajar saja jika The World Internal Security and Police Index (WISPI) tahun 2023, menempatkan Kepolisian RI pada urutan ke-63, jauh di bawah negara Asean lainnya seperti Vietnam dan Malaysia pada urutan 45 dan 43. Indonesia sangat jauh tertinggal dari negara terdekat Singapura pada urutan ke-4 terbaik dunia sebagai negara yang lembaga kepolisiannya mendapatkan overall score index 0,84 (mendekati 1) , sementara kita baru mencapai nilai 0,51. Belanda dan Jepang yang secara historis memiliki andil terbentuknya Kepolisian RI pasca-kolonialisme memiliki nilai 0,83 dan 0,79 menempati urutan ke 5 dan 12 sebagai lembaga kepolisian terbaik dunia. Mengapa kita tidak mengikuti jejak langkah negara-negara itu, membangun lembaga kepolisiannya?

Model Pelembagaan Kepolisian

Di dalam menilai dan meranking lembaga kepolisian negara-negara di dunia, WISPI menggunakan 4 indikator utama yaitu kapasitas sumberdaya personil yang mampu mengatasi tantangan keamanan dalam negeri, efektifitas mengatasi tindakan korupsi-suap- penyalahgunaan wewenang, legitimasi kepercayaan publik terhadap lembaga dan terciptanya rasa aman-tertib sosial pada tingkat kriminalitas yang rendah. Indikator tersebut diturunkan kembali menjadi beberapa parameter yang menilai lebih terukur perilaku personalia polisi menjalankan tugasnya, persepsi masyarakat terhadap polisi, terciptanya keamanan-ketertiban umum, transparansi penegakan hukum dan rasa aman masyarakat. Di belahan dunia lain, Inggris dengan indek nilai kepolisian 0,75 di ranking ke-23, menunjukkan bahwa reformasi bukan utopia. Prinsip ‘policing by consent’ — bahwa otoritas polisi hanya sah jika mendapat legitimasi dari rakyat—telah menjadi nadi kepolisian mereka.

Di London, komite warga sipil independen mengawasi setiap tindakan aparat. Penggunaan kekuatan, penggeledahan, dan tindakan represif dilaporkan secara terbuka. Independent Office for Police Conduct (IOPC) adalah institusi sejenis Kompolnas di Indonesia, memiliki kekuatan pengawasan yang nyata. Ia bisa menyelidiki, memaksa polisi untuk hadir dalam persidangan internal, dan bahkan mengusulkan pemecatan. Di Belanda, kehadiran polisi di tengah masyarakat begitu bersahaja. Masyarakat Belanda memiliki persepsi bahwa polisi adalah sahabat yang selalu hadir membantu. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi di Belanda mencapai lebih diatas 55%. Di Singapura, sejak era kepemimpinan Lee Kuan Yew, lembaga kepolisian dibangun dengan komitmen ‘trust’ dan disiplin yang tinggi sebagai pengawal program pembangunan nasional modern.Tingkat korupsi yang sangat rendah, profesional dan efisien. Tingkat kepercayaan masyarakat singapura kepada polisi mencapai diatas di atas 51% .

Georgia, negara eks Uni Soviet yang baru merdeka tahun 1991, pada era Presiden Mikhail Sakasvili 2004-2013 melakukan reformasi lembaga kepolisian secara spektakuler. Pada saat legitimasi kepercayaan rakyat Georgia kepada polisinya berada di titik nadir, karena berbagai tindakan tidak terpuji aparatur,pemerintah Georgia membubarkan seluruh satuan polisi lalu lintas, melakukan seleksi ulang seluruh personalia kepolisian yang dianggap layak menjadi panutan rakyat dalam menegakan hukum. Tidak kurang dari 50% personil polisinya diganti atau dipensiunkan. Demi mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap penegak hukum, Georgia membangun ulang lembaga kepolisiannya pasca-Revolusi Mawar. Hanya personalia polisi dengan rekam jejak integritas yang baik dipertahankan. Rekrutmen anggota baru polisi dilakukan dengan sangat ketat. Sistem pendidikan, penempatan personil berikut kesejahteraan polisi diperbaiki. Hasilnya, Polisi Georgia yang awalnya dikenal korup dengan citra buruk, dapat mengembalikan legitimasi kepercayaan rakyatnya. Kepolisian Georgia menempati urutan ke 30 dengan nilai indek 0,72, jauh melampaui Indonesia dan hampir seluruh negara di ASEAN di tahun 2023. Georgia tidak sekadar merombak institusi, tapi juga memperbaiki cara berpikir negara tentang kekuasaan,untuk melayani rakyatnya.
Keempat negara di atas, cukup menjadi role model bagaimana membenahi institusi keamanannya. Di dalam Bab III Pasal 13 sampai dengan 19, disebutkan dengan lugas apa yang menjadi tugas dan wewenang aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia, dari mulai tugas pokoknya, tata cara melaksanakannya, kewajibannya, kewenangan, yang dimiliki dan batasan wewenangnya. Bagian ini hendaknya dimaknai sebagai landasan membangun profesionalisme kepolisian, yang kemudian didukung oleh kebijakan anggaran serta perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan prajurit .

Agenda Reformasi Polri

Di era ini, keamanan seharusnya dilihat sebagai hasil dari kepercayaan, bukan dominasi. Governance-sensitive policing adalah pendekatan yang lahir dari zaman yang berubah: ia menuntut polisi yang berintegritas memahami isu universal, humanis, profesional dan bersahaja. Bercermin dari kondisi kepolisian kita, dengan memperhatikan kemajuan negara lain dan tujuan kita bernegara, maka agenda melakukan reformasi Kepolisian RI perlu segera dilakukan menyusul reformasi internal ABRI yang sudah dilakukan 27 tahun yang lalu yang melahirkan paradigma baru TNI. Reformasi Polri bertujuan untuk menegakan kembali keiwibawaannya sebagai lembaga penegak hukum yang dipercaya rakyat. Reformasi Polri diarahkan untuk menciptakan aparat kepolisian yang bersih, berintegritas, profesional sebagai suri tauladan yang dicintai rakyat sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Konsep reformasi Polri perlu menyerap pendapat yang melibatkan berbagai representasi masyarakat sipil selain DPR dan pemerintah, seperti: forum rektor, organisasi kemahasiswaan, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, cendekiawan, ulama-rohaniwan, budayawan dan para penggiat demokrasi lainnya.Reformasi Polri sekurangnya mencakup 4 agenda reformasi yang meliputi: struktural, kultural, personalia dan sistem/kurikulum pendidikan.

Reformasi struktural dimaksudkan untuk meletakan Institusi Polri tidak langsung di bawah Presiden, sebagaimana berlangsung di banyak negara demokrasi maju, kepolisian berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Reformasi struktural memberikan desentralisasi kewenangan kepolisian daerah yang lebih besar, menata ulang sistem koordinasi vertikal-horizontal, pusat dan daerah. Reformasi struktural akan menata kembali organisasi kepolisian yang sesuai dengan tuntutan perubahan .

Reformasi kultural dimaksudkan untuk memperbaiki karakter aparatur kepolisian kembali pada jati dirinya yang bersahaja, yang memahami tugas pokok dan tujuan hidupnya menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang berperi kemanusiaan. Menanamkan kembali nilai-nilai ketuhanan dan kemanusian dalam menjalankan tugasnya. Mengubah ‘mindset’ jabatan dan kekayaan bukan tujuan utama kehidupannya sebagai polisi. Reformasi kultural juga mengembalikan fungsi tugas kedudukan polisi pada ruang lingkup tugas pokok kepolisian. Menarik diri dari keterlibatan politik praktis baik langsung maupun tidak langsung dan tidak berada di luar lembaga kepolisian selama berdinas aktif, sebagaimana diamanatkan Pasal 28 UU Kepolisian RI.

Reformasi personalia adalah diterapkannya sistem merit, objektivitas penilaian, rekam jejak, prestasi pendidikan kedinasan, prestasi tugas, integritas dalam penetapan promosi jabatan, kenaikan pangkat, mutasi/rotasi personalia. Meritrokasi dan rekam jejak dijadikan pedoman jenjang kepangkatan dan promosi jabatan. Reformasi personalia mengharuskan transparansi dan akuntabilitas yang berwenang mengelola SDM kepolisian di semua tingkatan untuk melaksanakan tugas sesuai pedoman dan bertanggungjawab. Reformasi personalia mendorong penggantian pejabat-pejabat kepolisian yang tidak disiplin, berperilaku tidak terpuji atau korup dan terbukti melakukan ‘abuse of power’. Reformasi ini juga menawarkan pensiun dini atau alih status kepada aparat kepolisian yang secara objektif dinilai tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik atau memiliki keahlian lain yang diperlukan oleh instansi lain. Reformasi personalia juga mengurangi jabatan-jabatan perwira tinggi dengan seleksi yang sangat ketat. Menjamin objektivitas dalam jenjang kepangkatan dan promosi jabatan.

Reformasi Kurikulum-sistem pendidikan, mencakup penyegaran pada materi-materi pembelajaran di sekolah-sekolah kedinasan kepolisian guna menggali kembali nilai-nilai luhur Ideologi Pancasila dan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Menekankan kembali pentingnya pendidikan agama/ahlak yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan sebagai fondasi memahami tantangan tugas kepolisian yang dihadapi. Menambahkan wawasan internasional bagi para siswa pendidikan agar dapat memahami dampak perubahan geopolitik internasional terhadap indonesia dalam ruang lingkup tugas kepolisian. Reformasi pendidikan harus menjamin semua proses seleksi masuk pendidikan dinas kepolisian di semua tingkatan bebas dari suap , dilaksanakan secara objektif dan transparan untuk memastikan semua warga negara Indonesia yang memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama menjadi polisi dan setiap polisi yang baik-berprestasi memiliki kesempatan mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Semoga reformasi Polri dapat segera diwujudkan guna mempercepat Indonesia segera melesat menjadi bangsa yang maju, sejahtera dan demokratis. Keterlibatan dukungan seluruh komponen bangsa membantu reformasi Polri menjadi hal yang mutlak. Adalah hal yang penting bagi pemerintah dan DPR untuk turut memikirkan agenda reformasi Polri ketimbang melakukan Revisi UU Polri. Dan yang sangat kita nantikan untuk mempercepat reformasi Polri adalah ‘political will’ Presiden RI.

(Disampaikan pada Dialog Publik Memperingati Hari Bhayangkara ke-79. Penulis adalah Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Nasional – Duta Besar RI untuk Ukraina, Armenia, dan Georgia 2027-2021 – Menteri PAN-RB 2014-2016 – Penulis Buku Reformasi Internal ABRI Menuju Hubungan Sipil-Militer Baru di Indonesia 2004)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *