Medan, HarianBatakpos.com – Setya Novanto, narapidana dalam kasus korupsi e-KTP, kembali menerima remisi pada Idul Fitri tahun ini. Remisi ini merupakan yang keempat kalinya sejak dia ditahan. Di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Kota Bandung, Jawa Barat, sebanyak 288 narapidana korupsi, termasuk Setya Novanto, diberikan remisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang pemasyarakatan.
Remisi untuk Narapidana Korupsi
Kepala Bagian Tata Usaha Lapas Sukamiskin, Benny Muhammad Saifullah, menyatakan bahwa dari 388 narapidana beragama Islam yang diusulkan untuk mendapatkan remisi, hanya 288 yang disetujui. “Jumlah usulan remisi yang disetujui 288 orang,” kata Benny, mengacu pada laporan yang diterima, dilansir dari kompas.com.
Besaran remisi yang diberikan bervariasi, dengan 36 narapidana mendapatkan pemotongan masa tahanan selama 15 hari, sementara 233 narapidana menerima 1 bulan. Setya Novanto, yang merupakan mantan Ketua DPR, termasuk dalam kelompok ini, namun jumlah remisi yang diterimanya masih belum diungkapkan secara pasti.
Tahun lalu, Setnov juga memperoleh remisi sebesar 30 hari bersama 240 narapidana lainnya. Proses hukum yang panjang dan kontroversial yang melibatkan Setnov menciptakan sorotan publik yang signifikan, terutama terkait dengan dugaan penggelapan dana yang merugikan negara.
Proses Hukum Setya Novanto
Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017. Meskipun sempat menggagalkan panggilan KPK dengan alasan kesehatan dan kecelakaan, pada akhirnya dia dinyatakan bersalah pada 29 Maret 2018. Hakim menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Sejak menjalani hukumannya, Setnov telah menerima remisi beberapa kali, termasuk remisi pada Hari Ulang Tahun ke-78 Republik Indonesia. Dengan remisi ini, Setya Novanto semakin mendekati masa kebebasan, meskipun kontroversi seputar kasusnya tetap menjadi perhatian publik.
Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai kebijakan remisi, diharapkan masyarakat dapat melihat bagaimana sistem pemasyarakatan beroperasi dan dampaknya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Komentar