Harianbatakpos.com , JAKARTA – Pada suatu hari menjelang hari raya Idul Adha beberapa tahun lalu, KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang dikenal dengan sebutan Gus Baha, mengalami kejadian yang mengharukan. Seorang pria miskin datang menemui Gus Baha dengan niat untuk berkurban, namun bukan hewan kurban yang umum seperti kambing atau sapi, melainkan seekor ayam jago.
Kisah ini dibagikan oleh Gus Baha melalui kanal YouTube @Santri Gayeng, di mana ia menceritakan pertemuan tersebut. “Dadi malem lebaran, kulo niku nate ditekani wong melarat, meh qurban ajam jago,” ujar Gus Baha dalam bahasa Jawa, yang berarti, “Pada malam lebaran, saya pernah didatangi orang miskin yang ingin berkurban ayam jago.”
Dalam dialog antara keduanya, pria tersebut menanyakan kepada Gus Baha apakah kurban harus berupa kambing. “Masa kurban kudu wedus Gus,” tanya tamu tersebut, yang diterjemahkan sebagai, “Apakah kurban harus kambing, Gus?” Gus Baha menjawab dengan bijak, “Lha piye,” yang berarti, “Ya bagaimana lagi.”
Ternyata, pria miskin tersebut sudah membawa ayam jago yang ingin ia serahkan sebagai hewan kurbannya. Keinginan pria itu untuk berkurban meskipun hanya mampu dengan ayam jago menunjukkan ketulusan dan niat baik yang mendalam. Situasi ini menunjukkan bagaimana orang-orang dengan keterbatasan ekonomi tetap memiliki keinginan kuat untuk melaksanakan ibadah kurban sesuai kemampuan mereka, seperti disadur dari laman Liputan6.com.
Respons Gus Baha terhadap kejadian ini sangat bijaksana dan penuh pengertian. Ia tidak serta merta menolak niat baik pria tersebut, tetapi memahami keterbatasan dan niat tulus yang ada di baliknya. Sikap ini mencerminkan kebijaksanaan dan rasa empati seorang ulama yang mampu memahami kondisi umatnya dengan baik.
Kisah ini menyebar luas di kalangan masyarakat dan menjadi contoh inspiratif tentang pentingnya niat dan ketulusan dalam beribadah. Bagi banyak orang, cerita ini mengajarkan bahwa ibadah tidak hanya dilihat dari besar atau kecilnya hewan yang dikurbankan, tetapi juga dari ketulusan hati dan usaha seseorang untuk melaksanakan perintah agama sesuai dengan kemampuan mereka.
Gus Baha dikenal sebagai ulama yang memiliki pendekatan yang sangat humanis dan penuh dengan kasih sayang. Ia selalu menekankan pentingnya memahami konteks sosial dan ekonomi umat dalam setiap ajaran dan nasihatnya. Dalam berbagai ceramahnya, Gus Baha seringkali mengajak umat untuk saling memahami dan membantu, terutama mereka yang berada dalam kesulitan.
Kisah pria miskin yang ingin berkurban ayam jago ini juga mengingatkan kita pada esensi kurban itu sendiri. Kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan tertentu, tetapi lebih kepada manifestasi dari pengorbanan dan ketaatan kepada Allah. Bagi seseorang yang mampu hanya dengan ayam jago, niat dan pengorbanan yang dilakukannya bisa jadi memiliki nilai yang sama besar dengan seseorang yang berkurban sapi atau kambing.
Dalam konteks sosial, kisah ini juga menunjukkan bagaimana seorang pemimpin agama seperti Gus Baha mampu memberikan dukungan moral dan spiritual kepada umatnya, tanpa memandang status ekonomi mereka. Sikap inklusif ini sangat penting dalam menjaga harmoni dan kebersamaan di tengah masyarakat yang beragam.
Selain itu, cerita ini juga mengajarkan tentang pentingnya rasa syukur dan penerimaan. Meskipun hidup dalam keterbatasan, pria tersebut tetap berusaha untuk memenuhi kewajibannya dalam berkurban, menunjukkan rasa syukur dan kepatuhannya kepada Allah. Sikap seperti ini dapat menjadi teladan bagi kita semua untuk selalu bersyukur dan berusaha yang terbaik dalam menjalankan perintah agama.
Gus Baha, dengan caranya yang lembut dan penuh kebijaksanaan, berhasil menyampaikan pesan penting ini kepada masyarakat. Kisah ini menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk tetap berbuat baik dan tulus dalam segala keterbatasan.
Melalui kisah pria miskin yang ingin berkurban ayam jago, kita belajar bahwa nilai ibadah tidak semata-mata diukur dari materi, tetapi dari ketulusan dan niat baik yang mendasarinya.
Dengan demikian, respons adem dan bijak Gus Baha dalam menghadapi niat kurban ayam jago dari seorang pria miskin menjadi cerminan dari nilai-nilai luhur dalam agama Islam, yang mengedepankan ketulusan hati, empati, dan pengertian.
Kisah ini menginspirasi kita untuk selalu melihat esensi dari setiap perbuatan baik, dan memahami bahwa setiap usaha dalam beribadah, betapapun kecilnya, memiliki nilai yang sangat besar di mata Allah.
Komentar