Jakarta, Batak Pos – Debat Capres-Cawapres seringkali menjadi sorotan dengan dinamika yang intens, terutama dalam era digital seperti sekarang. Riant Nugroho, Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) dan pengajar Pascasarjana FISIP Unjani, memberikan analisisnya terkait kebijakan publik dalam konteks debat tersebut.
Menurut Nugroho, debat Capres-Cawapres kerap menjadi semacam ‘ingar-bingar’ baru dalam era digital.
“Pilihan yang ditawarkan biasanya hanya dua, mengikuti kata mesin kecerdasan buatan (AI) atau mengikuti ‘ingar-bingar’ yang tercipta di media sosial,” ujarnya pada Rabu (7/2/2024).
Ia mencatat bahwa substansi kebijakan publik seringkali terabaikan, dan debat lebih condong menjadi sebuah drama atau show daripada pembahasan esensi.
“Ini juga terjadi selama empat setengah tahun kabinet Jokowi, di mana kebijakan publik semakin sulit dipahami, baik oleh publik maupun pembuat kebijakan sendiri,” tulis Nugroho dalam kolomnya di detik.com.
Nugroho merujuk pada nasihat Kenneth Cukier, Viktor Mayer-Schönberger, dan Francis de Véricourt dalam buku Framers: Make Better Decisions in the Age of Big Data (2021). Menurutnya, manusia perlu memiliki framing atau bingkai sebagai model mental untuk membuat keputusan, sebagai alternatif dari mengikuti AI atau media sosial.
Dalam konteks kebijakan publik di Indonesia, Nugroho mengidentifikasi empat masalah kritis yang terus berulang. Pertama, kegagalan dalam melindungi segenap bangsa dan tumpah darahnya, yang mencakup kasus kekerasan intrafamilial hingga masalah keamanan data warganegara.
Kedua, kegagalan dalam menyejahterakan rakyat, dengan indikatornya mencakup kebijakan ‘bantuan langsung’ yang berlebihan dan janji kampanye untuk merebut dukungan pemilih. Nugroho menilai bahwa rakyat seharusnya menjadi mandiri dan tidak tergantung pada bantuan langsung.
Ketiga, kegagalan dalam mencerdaskan bangsa, yang ditandai dengan kebijakan-kebijakan yang membiarkan proses penistaan upaya mencerdaskan bangsa. Nugroho menekankan bahwa kecerdasan bukan hanya tentang gelar akademis, tetapi juga kesediaan berpikir untuk menjadi orang baik dan bermanfaat.
Keempat, Nugroho menyoroti tantangan Indonesia untuk menjadi bangsa kelas dunia, terutama dari segi ekonomi dan peran dalam rantai pasok global. Ia menyebut bahwa meski menjadi tuan rumah G-20, Indonesia masih memiliki keterbatasan dalam membeli alutsista dan masuk dalam rantai pasok global.
Nugroho menyimpulkan bahwa keempat masalah tersebut mencerminkan ketidakpatuhan terhadap prinsip hidup bersama sebagai bangsa Indonesia. “Ini menjadi kepentingan bersama yang seharusnya menjadi framing atau prinsip utama dalam setiap kebijakan publik kita,” tandasnya dalam tulisannya.
Komentar