Opini
Beranda » Berita » Runtuh dan Tumbuh

Runtuh dan Tumbuh

Runtuh dan Tumbuh
Runtuh dan Tumbuh

Saat masih kecil aku tidak pernah bisa mengerti alasan seseorang ingin mengakhiri hidup. Aku sering melihat di tv berita-berita tentang bunuh diri. Bahkan salah satu tetanggaku malangnya juga melakukan itu. Maksudku, bagaimana bisa dengan mudahnya memutuskan untuk meninggalkan dunia begitu saja? Bukankah dengan membayangkannya saja sudah sangat mengerikan?

Akan tetapi, semakin bertambahnya umur ironisnya aku dipaksa untuk memahami bahwa dunia tidak lebih mengerikan dibanding kematian.

Aku merasa seperti mendapat karma. Aku telah berdosa karena meremehkan mental mereka yang memilih meninggalkan dunia ini dengan sengaja. Karma datang merayap layaknya api neraka yang sedikit demi sedikit membakar duniaku yang seolah tidak akan pernah padam seberapa kuat aku mencoba.

Cara Menghitung Matematika dengan Baik dan Benar, 90+6= 96 Bukan 99!

Sejak SD aku sudah akrab dengan namanya pembulian. Kau tahu? Seseorang yang merasa superior dibanding yang lain sehingga bertingkah bagaikan raja ataupun ratu sehingga harus dilayani sepanjang hari. Kebetulan di kelasku ada seorang ratu yang punya banyak aturan yang harus dipatuhi oleh semua orang terutama dayang-dayangnya (yang dia anggap seperti itu). Lebih parahnya lagi dia selalu meminta uang ke tiap anak yang dianggap lemah, yang tidak akan berani melawannya. Benar-benar gila. Aku yang kecil itu tidak siap dengan sisi lain dunia yang kupikir hanya diisi dengan hal-hal yang menyenangkan. Aku hanya termenung diam memikirkan bagaimana bisa di dunia ini ada kejadian semacam ini? Dan yang lebih penting bisa-bisanya seorang anak seumuranku punya pemikiran sejahat itu kepada teman-temannya sendiri?

Aku yang tidak terima dari awal pun berupaya melawan. Aku dijauhi, tentu. Terkadang juga diganggu. Namun setidaknya aku tidak sendiri, ada teman-teman yang bersamaku untuk melawan ketidakadilan itu. Aku bertekad untuk bertahan karena teman-teman terdekatku selalu bersamaku.

Masa SD yang lumayan tidak mengenakkan itu perlahan dapat kulewati. Aku melangkah penuh harap di masa SMP ku akan sedikit lebih baik, tapi nyatanya? Kenyataan malah jauh lebih parah dibanding sebelumnya. Hidup bagai tengah menertawakanku seperti lelucon karena berani-beraninya punya harapan seperti itu. Aku kembali dibuli, aku dibuli karena membela seseorang yang sering dijadikan objek pembulian. Menjijikan. Para pembuli itu sangat menjijikkan karena menindas seseorang yang terlihat lebih lemah dibanding mereka. Akan tetapi kali ini lebih berat kulewati karena tidak ada teman-teman yang ada disaat aku butuh. Aku berjuang sendirian. Dari awal aku tidak meminta mereka untuk membantuku, aku sendiri yang memutuskan untuk membela korban buli dan aku tahu resikonya. Aku hanya ingin mereka tetap bersamaku tapi yang ada hanya aku yang dijauhi oleh teman-temanku sembari melihatku dengan tatapan benci. Rasanya hancur lebur, berjuta lebih sakit dibanding saat aku dibuli.

Aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri hal apa yang membuat teman-temanku perlahan menjauhiku?Kesalahan besar apa yang aku perbuat sehingga membuat mereka seakan menghindariku? Apa selama ini mereka hanya terpaksa berteman denganku? Apa mereka malu berteman denganku karena aku dibuli? Semakin dipikirkan semakin aku membenci diriku sendiri. Aku benci kenapa aku terlahir dan bertanya-tanya bagaimana hidupku berjalan secara mengerikan begini. Aku menyimpan pikiran-pikiran jelek itu di dalam otakku, menumpuk bagaikan sampah yang aku biarkan sampai membusuk. Seiring dengan itu pun hidupku berubah. Aku tidak punya kepercayaan kepada siapa pun lagi. Dunia indah dan menyenangkan yang aku idam-idamkan sejak kecil perlahan-lahan musnah.

Seni Flexing Kekuasaan

Aku menjadi nyaman sendirian. Aku sering menyendiri. Setiap kali ada kesempatan aku akan berada di posisi sudut menjauhi semua orang. Selama menyendiri itu aku banyak berteman dengan teman online. Setidaknya mereka tidak bisa menjahatiku, pikirku saat itu. Aku jadi suka mengurung diri dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka.

Aku tetap datang ke sekolah, tapi aku tidak punya tujuan, aku hanya terus mengikuti alur saja. Kemudian aku masuk masa SMA. Aku bertemu banyak orang yang kelihatannya baik. Lucu ya? Disaat aku tidak mengharapkan apa pun lagi aku berada di tempat yang penuh dengan orang baik. Aku berteman dengan mereka akan tetapi aku sering membatasi diriku sendiri untuk tidak terlalu terlibat lebih dalam. Aku tidak yakin jika mereka benar-benar tulus. Aku kesulitan untuk mempercayai orang-orang lagi.

Aku kemudian terbiasa berpura-pura. Aku tetap tersenyum, tertawa, namun di dalam aku merasa hampa. Aku tidak tahu mulai dari kapan rasa hampa itu ada. Ia hanya muncul secara tiba-tiba. Seiring berjalan waktu aku mulai menyadari rasa hampa itu terus kian membesar.

Puncaknya di kala aku tamat sekolah, aku yang tidak punya tujuan dituntut untuk memilih masa depan. Bersamaan dengan itu pun aku juga bertengkar dengan teman-temanku. Pikiranku kacau dan berantakan. Aku sudah mengecewakan banyak orang. Aku mengecewakan kedua orangtuaku. Aku tidak pantas menjadi anak mereka. Aku hanya pembawa sial bagi orang baik disekitarku. Untuk apa hidup jika hanya menyusahkan orang lain? Rasa hampa yang telah lama kurasakan pelan-pelan berubah jadi rasa lelah. Aku menjadi sangat lelah dengan semuanya. Aku ingin semuanya berhenti. Kepalaku yang awalnya hanya berkabut sekarang menjadi gelap total.

Di sisa-sisa cahaya tipis tersebut, Tuhan yang barangkali masih sayang kepadaku mengirimkan tanda kecil. Teman online ku mendadak meminta alamatku dengan alasan mau memberikan hadiah. Tidak masuk akal. Benar-benar diluar nalar keinginannya itu. Dia bilang ingin memberiku sesuatu sebagai apresiasi karena aku sudah lulus SMA. Bukankah itu bukan sesuatu yang luar biasa untuk dirayakan? Tapi dia bilang aku hebat bisa mencapai titik ini. Konyol. Aku sebisa mungkin menolak tapi dia terus saja memaksa. Aku tidak mengerti, kami hanya kenal dari sosial media, bahkan belum pernah bertemu, aku bertanya kenapa dia sampai sebegininya kepadaku.

Dia bilang dia bersyukur bertemu denganku. Dia bilang senang berteman dan menghabiskan banyak waktu denganku. Dia bilang aku adalah orang yang baik dan bangga padaku. Kemudian aku pun menangis sejadi-jadinya.

Aku sering mengadu kepada Tuhan mengapa aku selalu bertemu orang jahat. Tuhan barangkali muak ditanya begitu namun masih berbaik hati kepada diriku yang tidak tahu diri ini dengan memberitahu sekali lagi jika masih ada banyak orang yang menyayangiku dengan tulus. Aku benar-benar tidak tahu diri. Aku mulai melihat sekitarku dan sadar. Aku hanya dibutakan dengan kesedihanku sendiri sampai tidak menyadari itu.

Untuk pertama kalinya aku bersyukur telah hidup. Terutama hidup sebagai diriku sendiri sebab seseorang yang berada di ujung dunia lain ini, yang bahkan tidak pernah melihatku secara langsung bilang padaku kalau dia berterima kasih atas lahirnya aku di dunia. Aku menangis bahagia. Aku bahagia karena ternyata hidup yang kupikir tidak ada artinya ini berharga. Sangat berharga sampai-sampai aku tidak mau melepaskannya.

Aku akhirnya berdamai dengan dunia yang seperti ini. Memang ada sisi-sisi kehidupan yang tidak menyenangkan, tapi yakinlah jika kau bertahan sedikit lagi kau akan menemukan sisi lainnya yang sangat indah, yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Aku juga akhirnya menerima masa lalu yang cukup kelam itu. Pasti kedepannya akan menemui masalah-masalah lain tapi aku yakin aku dapat mengatasinya. Aku sangat bangga pada diriku sendiri karena dapat melalui itu semua.

Selama ini aku hanya terfokus pada kesedihanku dan hanya menghujani pikiran dengan hal-hal buruk. Aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri seperti itu lagi. Aku ingin hidup lebih lama. Salah satu kebencianku terhadap diri sendiri dikarenakan aku tidak punya mimpi. Aku merasa tidak pantas hidup berdampingan dengan orang-orang yang memiliki impian hebat. Tapi seseorang berkata untuk tidak membandingkan diri sendiri dengan orang lain, tidak apa-apa tidak punya impian, asalkan kau bahagia. Impian sekecil apa pun itu juga tetaplah sebuah impian. Bahkan sesederhana melihat langit sore yang berbeda setiap harinya, sesederhana makan mie instan saat hujan turun. Sederhana namun menjadi alasan untuk tetap bahagia, untuk tetap hidup. Aku tidak lagi mementingkan pendapat orang lain padaku. Aku hanya ingin fokus melakukan semua hal yang dapat memenuhi diriku sendiri dengan kebahagiaan.

***

Hai ini Aya. Pesanku untuk kamu yang sedang berjuang mencintai dan menerima diri sendiri, jangan putus harapan. Ceritaku mungkin tidak lebih menyakitkan dan sulit dibanding apa yang telah kamu lalui. Tapi itu sudah berlalu dan kamu bertahan sampai sekarang saja itu artinya kamu hebat dan kuat. Itu artinya kamu masih punya harapan. Itu artinya kamu masih menyayangi dirimu sendiri. Hari baik akan datang, percayalah. Aku doakan kamu akan menangis merayakan suka cita atas cintamu pada diri sendiri.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terpopuler

BatakPos TV

Kominfo Padang Sidempuan

Kominfo Padang Sidempuan