Pada pembukaan perdagangan Jumat pagi, nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tercatat melemah. Hal ini dipengaruhi oleh indikator ekonomi yang kokoh dari AS, yang dapat memicu sikap hawkish Bank Sentral AS untuk tetap mempertahankan suku bunga kebijakannya.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, rupiah turun 84 poin atau 0,52 persen menjadi Rp16.263 per dolar AS pada awal perdagangan, dari sebelumnya sebesar Rp16.179 per dolar AS.
Para investor tengah mengamati data ekonomi AS terbaru, seperti klaim pengangguran dan Indeks Manufaktur Fed Philadelphia, yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang stabil di AS.
Indeks dolar AS pulih dari tren penurunan menjadi 106,16, atau naik 0,01 persen pada Kamis, mendekati level tertingginya dalam lima bulan terakhir.
Jumlah individu yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran di AS tidak berubah dari pekan sebelumnya, yaitu sebanyak 212 ribu untuk pekan yang berakhir pada 18 April 2024, di bawah ekspektasi pasar.
Sementara itu, pada April 2024, Indeks Manufaktur Fed Philadelphia melonjak 12 poin menjadi 15,5, melebihi perkiraan pasar yang hanya sebesar 1,5. Hal ini menandai kenaikan indeks selama tiga bulan berturut-turut dan mencapai level tertinggi sejak April 2022.
Imbal hasil (yield) pada UST 10 tahun naik ke atas level 4,6 persen, khususnya menjadi 4,63 persen, mendekati puncak dalam lima bulan terakhir.
Josua mengungkapkan kekhawatiran terhadap inflasi yang masih bertahan, dengan para pembuat kebijakan Bank Sentral AS menekankan pentingnya mendapatkan keyakinan yang lebih tinggi terkait inflasi sebelum mempertimbangkan pemotongan suku bunga kebijakannya.
Dalam proyeksinya, Josua memprediksi nilai tukar rupiah akan bergerak di rentang Rp16.050 per dolar AS sampai dengan Rp16.250 per dolar AS dalam waktu dekat. Hal ini tercermin dari ketidakpastian yang masih menghantui pasar mata uang terkait sikap Bank Sentral AS.
Komentar