Toba, harianbatakpos.com – Belakangan ini, seruan sejumlah tokoh publik, seperti Pimpinan Gereja dan Pimpinan Organisasi Masyarakat (Ormas) meminta agar PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Porsea, Kabupaten Toba menghentikan operasionalnya kembali mencuat, menyusul terjadinya banjir bandang atau bencana alam di beberapa wilayah sekitar Kabupaten Toba.
Seruan tersebut mengaitkan aktivitas industri kehutanan dengan bencana alam yang terjadi, termasuk dugaan dampak dari pemanfaatan hutan tanaman industri (HTI) sebagai bahan baku pulp oleh TPL.
Menanggapi hal ini, pemerhati lingkungan dan sosial masyarakat yang juga Pendiri Yayasan Kito Satu, Dr. Dion Sihombing, M.Si., menyarankan agar polemik ini ditanggapi dengan pendekatan yang lebih arif dan bijaksana, berbasis data, dan mengedepankan solusi jangka panjang yang konstruktif.
Dr. Dion yang sehari-hari bertugas sebagai akademisi ini mengingatkan bahwa TPL merupakan perusahaan berskala internasional yang telah mengantongi izin operasional resmi dari pemerintah, serta tunduk pada regulasi lingkungan hidup yang berlaku, karenanya tidak semudah membalikkan tangan meminta tutup TPL, melainkan perlu lebih awal melakukan berbagai kajian yang objektif, berbasis data dan konstruktif.
“Bencana alam seperti banjir bandang tidak bisa disederhanakan semata-mata sebagai akibat dari aktivitas industri kehutanan. Perlu kajian komprehensif yang mempertimbangkan berbagai faktor seperti perubahan iklim, degradasi lahan, serta kondisi topografi dan tata kelola lingkungan daerah,” ujar Dion kepada Medan Pos di Medan, Sabtu (24/5/2025.
Pihak TPL sendiri, dalam berbagai pernyataan resminya, menyatakan komitmen terhadap prinsip keberlanjutan, termasuk menerapkan praktik pengelolaan hutan yang bertanggung jawab serta bekerja sama dengan masyarakat lokal dalam berbagai program pemberdayaan sosial dan lingkungan.
Dr. Dion yang juga Ketua Lembaga Konsultasi Pendidikan (LKP) CITRA Sumatera Utara (Sumut) itu
mengimbau agar para tokoh masyarakat dan tokoh gereja untuk mendorong dialog terbuka antara semua pihak, seperti pemerintah, perusahaan, masyarakat adat, dan kelompok lingkungan dalam merumuskan solusi bersama. Komunikasi bersama, melakukan kajian bersama yang objektif dan berbasis data, sebelum berkesimpulan menutup TPL.
“Penutupan industri secara sepihak, tanpa didahului evaluasi komprehensif, dinilai berpotensi menimbulkan dampak sosial-ekonomi baru, terutama bagi masyarakat lokal yang menggantungkan penghidupan dari sektor terkait, salah satunya adalah dampak kepada pekerja TPL dan keluarganya bisa menimbulkan masalah baru, juga dampak ekonomi bagi masyarakat yang lebih luas”, katanya.
“Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini banyak kontribusi kehadiran TPL bagi masyarakat luas dan pemerintah, terlebih telah berkontribusi mengatasi pengangguran”‘ lanjutnya.
“Yang dibutuhkan saat ini bukan saling menyalahkan, melainkan mencari titik temu. Semua pihak punya tanggung jawab moral untuk menjaga lingkungan, sekaligus memastikan keberlanjutan ekonomi masyarakat,” pungkas Dr. Dion.
Dengan demikian, sebut Dion, penyelesaian persoalan lingkungan di Kabupaten Toba perlu didasarkan pada sinergi semua pemangku kepentingan dan semangat membangun masa depan yang lestari dan adil bagi semua pihak.
Komentar