Medan-BP: Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan DPRD Donggala terhadap Bupati Donggala, Kasman Lassa. Sebab proses pengambilan keputusan Hak Menyatakan Pendapat itu dinilai terlalu cepat, meski kuorum.
Hal itu tertuang dalam putusan MA yang dilansir websitenya, Rabu (1/12/2021). Di mana kasus bermula saat DPRD Donggala menyatakan Hak Menyatakan Pendapat terhadap Bupati Donggala. Pada 22 September 2021, DPRD menyatakan Bupati Kasman telah:
1. Tidak melaksanakan kewajibannya sebagai Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014;
2. Telah melanggar larangan melakukan korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014; dan
3. Telah melanggar larangan menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Atas keputusan itu, DPRD Donggala mengujinya ke MA agar dikuatkan. Tapi apa kata MA?
“Menolak permohonan uji pendapat dari Pemohon Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Donggala,” demikian bunyi putusan MA yang diketok oleh Yulius, Yosran dan Is Sudaryono.
Secara normatif Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Donggala, telah memenuhi quorum sesuai ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menghendaki bahwa dalam Rapat Paripurna DPRD tersebut dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2⁄3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Prosesual Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat telah dilakukan secara prosedural sesuai mekanisme dalam perundang-undangan telah memenuhi ketentuan Pasal 174 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juncto Pasal 79 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018.
“Akan tetapi prosedural dalam fase usulan dan paripurna Hak Interpelasi kepada Termohon, tidak dapat dibuktikan telah dilaksanakan oleh Pemohon,” ujar majelis.
Bupati Tidak Melaksanakan Kewajiban Memenuhi Panggilan Panitia Angket.
1. Terhadap permasalahan ini, Termohon telah menanggapi bahwa terhadap panggilan Paripurna Hak Interpelasi yang dijadwalkan pada tanggal 22 Juni 2021 tersebut, dimintakan untuk dijadwalkan ulang menjadi tanggal 30 Juni 2021 (vide Bukti B-9), karena bersamaan dengan Rapat Kepala Daerah dalam agenda Peningkatan PAD, dst;
2. Selanjutnya pada 30 Juni 2021, berdasarkan penugasan dari Termohon, Wakil Bupati dan 13 Pimpinan OPD memberikan penjelasan di Gedung DPRD Kabupaten Donggala yang hanya diterima di ruangan Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Donggala;
3. Jangka waktu pemberian kesempatan dari Pemohon kepada Termohon untuk menjelaskan perihal keterangan dalam Interpelasi, dalam nalar umum (commen sense) terlampau singkat, karena hanya memberikan kesempatan selama 4 hari kalender (2 hari kerja) yakni dari tanggal 18 Juni 2021 s/d 22 Juni 2021 untuk dapat menguraikan alasan yang menjadi dasar diajukannya Interpelasi.
4. Kendatipun perundang-undangan tidak memberikan batasan waktu eksplisit bagi Kepala Daerah untuk memberikan penjelasan atas Interpelasi, namun atas dasar kepatutan dan iktikad baik, semestinya Termohon diberikan cukup waktu secara proporsional untuk menyusun dan memberikan penjelasan atas pelaksanaan hak DPRD tersebut, terlebih secara kedinasan dapat dibuktikan alasan permohonan penjadwalan ulang paripurna terkait Interpelasi tersebut (vide B-9), adanya penugasan kepada bawahan Termohon untuk memberikan penjelasan (vide B-10), serta pemberian jawaban kepada DPRD Donggala (vide B-11 dan B-12);
Permasalahan Seleksi JPT (Jabatan Pimpinan Tinggi) Pratama Kepala Inspektorat Daerah Donggala
Terkait hal ini, telah ditindaklanjuti oleh Termohon dengan mengangkat Pelaksana Tugas Inspektur Inspektorat Kabupaten Donggala yakni H. Hasan Nurdin, S.Pd., M.Ap. (vide B.19) tanggal 2 Agustus 2021, yang menggantikan Sdr. Dee Lubis sebagaimana yang semula dijadikan dasar dalil pelanggaran oleh Pemohon, sehingga mengenai pelanggaran ini tidak terbukti
Permasalahan Program Teknologi Tepat Guna (TTG) dan Website Desa
1. Bahwa permasalahan dalam Program Program Teknologi Tepat Guna (TTG), dipertimbangkan bahwa seharusnya tatkala terdapat hal yang dapat membuktikan permasalahan di dalamnya, termasuk potensi penyalahgunaan wewenang maupun kerugian negara, seyogiyanya diajukan kepada APH untuk mendapatkan kepastian hukum terkait hal tersebut;
2. Sepanjang terhadapnya belum atau tidak dapat dibuktikan secara hukum oleh pihak yang berwenang, maka permasalahan tersebut harus dikesampingkan dalam dalil pelanggaran oleh Termohon; Sehingga terhadap dalil ini tidaklah terbukti;
Pengaktifan kembali 15 Terpidana Kejahatan dalam Jabatan/Yang ada hubungannya dengan Jabatan
Termohon telah menindaklanjuti hal tersebut, dengan menerbitkan Keputusan Pemberhentian terhadap 17 (tujuh belas) orang ASN terpidana korupsi yang telah inkracht, berdasarkan keputusan, masing-masing tertanggal 16 Agustus 2021 (vide B.25); Sehingga terhadap dalil ini tidaklah terbukti;
Tindakan TPTGR yang mengakibatkan kerugian keuangan negara/daerah
Berkaitan dengan permasalahan ini, Termohon telah memberikan penjelasan, bahwa dalil mengenai pengurangan kerugian daerah, didasarkan pada fakta bahwa setelah sidang Majelis TPTGR, pihak ketiga telah:
1). menyetorkan Rp. 1,35 M,
2). melakukan pekerjaan kembali sesuai LHP BPK, serta
3). pengurangan selisih harga pasir dan batu yang telah disampaikan kepada BPK Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan, yang kemudian akan dinilai sesuai dengan mekanisme perundang-undangan yang berlaku (vide B.26 dan B.27);
Sehingga terhadap dalil ini tidaklah terbukti;
1. Terkait Permasalahan hukum Mutasi ASN termasuk 5 orang PNS istri anggota DPRD pada Juni-Juli 2021, Termohon menyatakan tindakan tersebut adalah melaksanakan wewenang Pejabat Pembina Kepegawaian sebagaimana Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
2. Bahwa mutasi dimaksud, tidak hanya secara spesifik dilakukan terhadap 5 orang PNS istri anggota DPRD, tetapi juga PNS lainnya atas dasar pertimbangan pemerataan pegawai dalam rangka pelayanan masyarakat yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Donggala.
3. Saat terdapat pihak yang merasa dirugikan akibat mutasi tersebut, sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa ASN sebagaimana digariskan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, baik melalui upaya administratif ataupun proses litigasi ke Pengadilan yang berwenang. Persoalan ini berdimensi hukum administrasi kepegawaian, di mana pihak yang terkait adalah vertikal antara atasan dengan bawahan, dan berdimensi konkret, individual dan final, yang penyelesaiannya melalui mekanisme kepegawaian, bukan mekanisme politis seperti halnya Hak Menyatakan Pendapat a quo;
4. Karena belum ditempuhnya mekanisme kepegawaian sebagaimana seharusnya, maka terhadap dalil pelanggaran ini pun tidaklah terbukti.(DTK)
Komentar