Tidak ada yang permanen di dunia ini, termasuk permasalahan kita (Chorlia Chaplia)
Harian Batakpos.com – Ruangan kelas, riuh. Guru Matematika tidak hadir. Menurut informasi Bapak Naibaho guru Matematika itu lagi bepergian ke Jakarta. Menerima penghargaan dari kementerian karena keberhasilan beliau dalam memenangkan lomba inovasi pembelajaran. Wah, sungguh keren kan? Semua warga kelas dan penghuni sekolah sangat bersuka cita hari ini. Mungkin hanya Aku. Ya. Aku sendiri. Tahu kenapa? Aku takut kejadian yang sama akan terulang kembali.
Tahukah kamu, jika di setiap pelajaran kosong, teman-teman sekelas punya kesempatan membuat perundungan terhadap diriku. Walau tidak secara kontak batin, namun selalu membekas menorehkan luka yang amat sulit diobati.
“Hei, orang miskin. Jangan melamun saja.” Sindir Vera mahluk terkaya di sekolah itu. Bentangan sawit orangtuanya yang berhektar-hektar menjadi modal dia untuk menunjukkan sifat pongahnya.
“Jelek, kamu kok selalu termenenung? Jihan siswa yang wajahnya mirip artis Angel Karamoy, dengan centilnya ikut-ikutan memeriahkan suasana.
Aku tidak menggubris. Hatiku sudah ditempa sekuat baja mendengar ocehan tersebut.
“Nak, kalian kerjakan rangkuman halaman 37.” Ibu Sofi guru piket hari itu tiba-tiba memasuki ruangan. Sejenak ruangan sunyi. Lalu semua sibuk mengerjakan tugas tersebut.
Ku ambil selembar kertas. Aku ingin menulis surat cinta untuk yang kusayangi. Aku harus menulisnya aku melampiaskan semua isi hati, walaupun ku tahu mereka sebenarnya membenci aku.
Pulpen hitam mulai bergerak di lembaran kertas warna pink. Merangkai huruf demi huruf untuk menyatakan curahan hati. Curahan hati yang harus aku ledakkan. Sesungguhnya ledakkannya sudah setara dengan dahsyatnya bom Hirosima di tahun 1945.
“Ayah dan Bunda. Di mana kalian? Kenapa membiarkanku berjalan sendirian di kehampaan? Akibat keegoisan kalian, tahu kah kalian aku menderita? Aku menderita Ayah, Bunda. Sindiran orang-orang terdekat tidak sanggub aku mendengarkan. Sindiran yang terkadang membuat aku lunglai. Tiap hari mereka melakukan perundungan terhadap Aku.
“Ha..ha…kasihan dia tidak punya orangtua.”
“Miskin lagi. Apa yang kau cari lagi di dunia ini?” Begitu yang selalu mereka hadiahkan kepadaku. Ayah, Bunda pahamkah kalian efek dari semua sindiran itu? Jika paham, kembalilah kepadaku. Kembalilah memelukku. Kembalilah membelai hatiku yang begitu gersang. Hatiku bagai tanah kering yang rindu aliran air.
Ayah, Bunda, bercerai itu bukan jalan memecahkan permasalahan. Akan tetapi pintu kesengsaraan insan-insan yang butuh kasih sayang. Aku tidak mau lagi mendengar kata-kata itu dari teman terdekatku. Dari teman-teman di sekolah, teman-teman di lingkungan rumah. Sadarlah pintaku bersatulah hati kalian. Jika tidak memungkinkan lagi, ku mohon jangan menambah anak-anak korban lainnya seperti yang saya alami. Maaf, Ayah dan Bunda sesungguhnya bercerai itu bukti kalau iman kalian tipis setipis daun serai. Bercerai itu pertanda jika Tuhan yang tidak kelihatan itu belum pernah singgah di hati kalian.
Mungkin kalian belum pernah merasakan efek perundungan. Suatu masa yang lalu, aku tidak tahan mendengar ejekan itu. Aku tidak tahan melihat teman-teman yang selalu dibelai ke dua orangtuanya. Aku menjerit, di mana kalian? Aku mengapa begitu berbeda? Awalnya aku ingin mengakhiri semuanya. Tidak tahan mendengarnya, kupingku sudah memanas, gendang telingaku sudah bolong. Aku mencoba mengadu, mencari perlindungan pada Bibi sebagai orangtua asuh menggantikan kalian. Ayah,Bunda tahukah kalian apa Bibi katakan?
“Tahankan. Makanya cari sana orangtua mu.” Bibi malah membela anak yang membully ku. Aku bukannya dipeluk. Aku bukannya dibelai. Aku merasa dunia tidak lagi berpihak pada ku. Isak tangisku semakin membesar. Bisikan dunia lain sepertinya memberikan kesejukan. Cairan desinfektan beraroma tajam itu ku buka. Ku tutup indera penciumanku agar saya tidak muntah. Saat airan itu menyentuh bibirku, malaikat membuka pintu kamar mandi dengan hentakan keras angin sore.
“Rara…anakku. Mengapa kamu melakukannya?”
Aku terhenyak. Botol itu terlempar. Wajah malaikat itu tersenyum. Lalu dengan penuh kehangatan Aku dipeluknya. Pelukan yang tidak pernah Aku temukan dari kedua orangtua ku.
“Maaf, Malaikat. Aku melakukannya karena tidak tahan lagi mendengar segala ejekan dan sindiran akibat saya tidak punya orang tua.”
Aku menangis menjerit di pelukannya. Dia membiarkan Aku menumpahkan segala kekecewaan yang tersimpan rapi di dalam hati.
“Maksudmu kamu selalu dibully?”
Aku mengangguk. Malaikat lalu tersenyum dan kembali mengusap-usap bahuku.
“Rara, Bulli itu jahat meskipun dia terlihat tidak berbahaya.” Malaikat terdiam sejenak.
“Akan tetapi kamu harus kuat. Jangan pernah menyerah. Jangan pernah berputus asa. Muzizat pasti ada bagi orang yang percaya. Kamu masih memercayai Dia bukan?”
Aku mengangguk. Ada rasa malu menyelinap. Diskusi kami terasa singkat. Namun aku begitu kuat, meski badanku masih lemah karena efek desinfektan yang terhirup. Malaikat lalu pamit dengan hormat.
“Tugasmu berat di dunia ini. Aku mengamanahkannya bagimu. Segera bertindak untuk memperkecil korban-korban bully tersebut.”
“Selamat menjalankan misi baru ya Rara cantik!” pesan Malaikat membuat dahaga seperti kena percikan air suci.
***
Namaku Rara, gadis kecil yang sudah tahan terhadap perundungan. Semoga kamu tidak menjadi korban berikutnya seperti yang kualami. Sesungguhnya efeknya tajam setajam silet. Aku baru menyadari ini akibat keegoisan orang-orang yang ku cintai. Menelantarkan aku di padang gersang yang haus kasih sayang. Malaikat berjanji akan menuntunku memberantas segala macam bentuk perundungan ini.
Tidak terasa air mataku menetes membasahi kertas pink isi curahan hatiku. Seketika ruangan riuh, karena jam pelajaran Pak Naibaho telah berakhir. Saatnya pulang. Ku lipat kertas itu sekecil mungkin.
Matahari siang itu begitu panas. Katanya efek lapisan ozon yang sudah menganga akibat ulah manusia yang tidak mencintai lingkungan. Aku menyusuri lorong sekolah menuju halte bus angkutan. Seperti biasa, beberapa mata dari teman kelas dan teman sekolah melirikku dengan tatapan sinis. Mungkin mereka merasa jijik melihat ujung sepatuku yang sudah mulai menganga. Aku tidak ada uang menggantinya. Karena tempat curahan hatiku entah di mana rimbanya. Aku sudah kebal mengkomsumsi tatapan sinis mereka. Bagiku tatapan sinis itu juga bentuk perundungan yang amat tajam.
“Tet..tet..tet…!”
Sebuah mobil mewah berhenti. Seorang Ibu turun dan mendekati anaknya. Dengan penuh kehangatan menatang anaknya untuk masuk ke mobil berwarna putih itu. Ada damai tercipta di hati anak tersebut.
“Kring..kring..kring..!”
Sebuah sepeda tua besar berhenti. Halimah, teman kelasku berlari kecil mendekati sepeda tua itu. Bapaknya yang sudah mulai ubanan itu mengembangkan senyumnya menyambut Halimah. Lalu sepeda itu melaju dengan penuh kedamaian.
Halte mulai sunyi. Ku ayun langkahku. Memijaki batu-batu jalanan yang semakin membara. Saya berharap akan menemui mereka secara ajaib. Tapi mungkin kah?
“Malaikat…tolong antarkan surat ku ini. Sebab saya tidak tahu di mana mereka berada.”
Tentang Penulis
Tomson Panjaitan adalah seorang penulis yang berasal dari Sumatera Utara. Tinggal di Jl. Jamin Ginting Gg Bersama, Kelurahan Pujidadi, Binjai Selatan, Sumatera Utara, ia telah menorehkan berbagai prestasi gemilang dalam dunia menulis.
Dikenal dengan akun Facebook-nya dengan nama Thom Chadwick Siloam Panjaitan, Tomson telah meraih berbagai penghargaan dalam lomba menulis sejak tahun 2007. Di antara prestasinya adalah sebagai berikut:
1. Juara 3 Lomba Menulis Buku Anak oleh Pusbuk tahun 2007.
2. Juara Harapan 1 Lomba cipta Cerpen Budaya Karo Se-Provinsi Sumatera Utara 2008.
3. Juara Favorit Lomba Menulis Cerpen “Lips Ice Selsun Golden Award” 2009.
4. Juara menulis cerita anak oleh guru Majalah Bobo 2012.
5. Juara 1 Sayembara Penulisa Cerita Anak Balai Bahasa Sumatera Utara 2017.
6. Juara Harapan 3 Lomba menulis Cerita Rakyat Sumatera Utara 2017.
7. Juara 3 Lomba menulis Cerita Rakyat Sumatera Utara 2018.
8. Juara 3 Lomba menulis buku anak Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan, 2018.
9. Tahun 2019, menjadi pemenang lomba menulis cerita Fabel oleh SIPPUBLISHING.
10. Tahun 2019, meraih juara dalam lomba menulis cerita rakyat Sumut oleh Dinas Pariwisata Medan.
11. Tahun 2020, mendapat piagam dari Badan Bahasa Kemdikbud Jakarta dalam Festival Film Animasi Cerita Rakyat.
12. Tahun 2021, menjadi juara dalam lomba menulis cerpen misteri seputar kawasan Danau Toba yang diselenggarakan oleh Lingkar Pena Toba bekerja sama dengan Kemenkraf.
13. Tahun 2022, meraih juara dalam Lomba Menulis Buku Anak (Pictbook) Balai Bahasa Sumatera Utara.
14. Tahun 2023, meraih juara 2 dalam lomba cerpen Komunitas Litearsi Patrick Kallen Korwil Sumatera-Utara –Aceh.Tomson Panjaitan adalah contoh nyata kegigihan dan bakat yang menghasilkan karya-karya luar biasa dalam dunia sastra, membawa nama Sumatera Utara ke tingkat nasional.
Komentar