HarianBatakpos,com, JAKARTA – BP: Sebuah undang-undang baru di Tajikistan telah mengesahkan larangan penggunaan hijab bagi perempuan, yang sebelumnya hanya menjadi peraturan tidak tertulis. Parlemen Tajikistan baru-baru ini menyetujui rancangan undang-undang terkait “Tradisi dan Perayaan” yang akan melarang penggunaan, penjualan, impor, dan iklan yang mempromosikan pakaian yang dianggap asing bagi budaya Tajik.
RUU tersebut yang diperkenalkan oleh anggota parlemen Tajik, Mavloudakhon Mirzoyeva, bertujuan untuk melarang pakaian yang dianggap tidak sesuai dengan budaya Tajik. Jika undang-undang tersebut disetujui oleh majelis tinggi parlemen dan ditandatangani oleh Presiden Emomali Rahmon, individu yang melanggarnya akan dikenai denda hingga 740 dolar AS atau sekitar Rp12 juta.
Sementara badan hukum bisa didenda hingga 5.400 dolar AS atau sekitar Rp88 juta, dan pejabat pemerintah serta otoritas agama akan menghadapi hukuman yang lebih berat, seperti disadur dari laman RMOL.id.
Meskipun beberapa warga Tajikistan menolak RUU tersebut karena mereka percaya bahwa masyarakat harus memiliki kebebasan untuk memilih pakaian mereka, tindakan keras pemerintah terhadap hijab sudah dimulai sejak tahun 2007. Larangan ini telah meluas ke semua lembaga publik dan bahkan menyebabkan penggerebekan pasar serta pemberian denda kepada pelanggar di jalan.
Pemerintah Tajikistan juga telah aktif mempromosikan pakaian nasional dengan mendorong perempuan untuk mengenakan pakaian tradisional Tajik. Sejak tahun 2017, pesan ini diperkuat dengan penerbitan buku panduan sebanyak 376 halaman yang menjelaskan tentang pakaian yang direkomendasikan.
Selain larangan terhadap hijab, Tajikistan juga secara tidak resmi telah melarang jenggot, dengan ribuan pria dilaporkan dipaksa untuk mencukur jenggot mereka oleh polisi selama satu dekade terakhir. Fenomena serupa juga terjadi di Uzbekistan, di mana pada tahun 2021, polisi memaksa puluhan pria Muslim untuk mencukur bulu wajah mereka.
Tindakan keras pemerintah terhadap pakaian dan penampilan pribadi ini menimbulkan perdebatan di antara warga dan memunculkan pertanyaan tentang hak asasi manusia serta kebebasan individu dalam memilih cara berpakaian.
Meskipun pemerintah berpendapat bahwa langkah ini bertujuan untuk melestarikan budaya dan tradisi lokal, reaksi masyarakat menunjukkan ketidaksetujuan terhadap campur tangan yang terlalu jauh dalam keputusan personal mereka.
Komentar