Medan, harianbatakpos.com – Aksi damai tolak TPL di depan gerbang Mapolda Sumut Jalan Raya Medan – Pematangsiantar, Senin (6/10/2025), diwarnai ‘curhat’ penu haru dari para korban penganiayaan. Aksi ini diikuti sejumlah elemen beserta para korban PT TPL (Toba Pulp Lestari).
Salah seorang anak korban pemukulan pihak TPL di Sihaporas Simalungun, Putri Ambarita, sambil terisak menyampaikan, bahwa ini bukan hanya sekadar masalah tanah, tapi soal jati diri.
“Wilayah adat itu bukan sekadar tanah. Tapi juga jati diri dan indentitas kami. Tapi kenapa orangtua kami harus dianiaya dan ditendang demi mempertahankan jati diri mereka sendiri. Bahkan ada juga keluarga yang disabilitas dan tidak bisa berjalan, juga ikut dipukuli sampai luka-luka meski sudah minta ampun,” tangisnya.
“Sekarang jalan kami untuk ke ladang sudah diputus. Padahal sekarang lagi susahnya mencari uang. Lalu bagaimana kami bisa menyambung hidup? Seperti apa sebenarnya negara dan polisi melihat rakyatnya yang miskin? Apakah harus yang punya uang yang dianggap rakyat?” tanyanya dalam Bahasa Batak dan Indonesia campur aduk, memancing isak perempuan lainnya.
Gadis ini juga membacakan hasil rekomendasi DPR RI yang mengatakan portal yang menutup jalan harus dibuka. “Ternyata sampai sekarang tidak juga terealisasi,” sesalnya.
Berurai air mata, ia pun menyampaikan, bahwa masyarakat Adat Sihaporas mendesak Polda Sumut mengusut pemukulan yang mereka derita.
Warga Sihaporas lainnya menyebut, bahwa kehadiran aparat negara pada saat terjadi konflik antara mereka dengan TPL, tidak ada manfaatnya bagi masyarakat. “Karena Bupati dan Kapolres Simalungun sudah menyaksikan langsung ‘parit gajah’ yang dibuat TPL, tapi sama sekali tidak ada tindak lanjut,” kata mereka.
“Kami sudah dua minggu tidak bisa mencari nafkah. Padahal yang kami pertahankan adalah tanah adat kami sendiri. Kenapa kalau rakyat yang melapor tidak ada tindak lanjut. Tapi kalau TPL melaporkan, secepat kilat ditanggapi,” lanjut para warga.
“Negara tidak hadir untuk masyarakat. Kami sudah mengadu ke pemerintah bahkan sampai ke Istana dan kementerian dan juga tidak ada penyelesaian. Di mana negara ini? Malah rakyat yang dituduh anarkis. Sementara anak-anak kami sudah hampir putus sekolah karena tidak bisa berusaha lagi,” masih kata warga.
Mereka pun sangat berharap, agar Kapolda Sumut berdiri di pihak mereka, atau setidaknya netral. “Tolong lah kami Pak Kapolda. Kami juga rakyat Bapak. Kami memang tidak bawa uang. Tapi datang lah Pak. Apa TPL yang memerdekakan Indonesia? Kenapa aparat negara seperti takut dengan TPL? Polri untuk rakyat,” kata kaum ibu itu.
Begitu dalamnya tekanan mental yang mereka alami, sampai ada yang mengusulkan agar Kapolda Sumut melakukan upa-upa untuk mengembalikan semangat para warga.
“Alangkah baiknya, kalau Kapolda Sumut melaksanakan adat ‘pa pirhon tondi’ (upa-upa), kepada warga korban kekerasan PT TPL,” sebutnya, di hadapan Dir Reserse Krimum Polda Sumut Kombes Ricko Taruna Mauruh, yang menerima kehadiran massa. (BP/RjP)
Komentar