Jepara, HarianBatakpos.com – Kasus suap hakim Ali Muhtarom kembali jadi sorotan usai Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan uang tunai dalam bentuk asing senilai Rp5,5 miliar saat menggeledah rumah sang hakim di kawasan Jepara, Jawa Tengah. Penemuan uang tersebut menjadi bukti penting dalam pengusutan kasus korupsi persetujuan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) periode 2021–2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan bahwa penggeledahan terhadap rumah Hakim Ali Muhtarom dilakukan pada Minggu (13/4). Dari hasil penggeledahan, ditemukan uang asing sebanyak 3.600 lembar pecahan USD$100 yang diperkirakan setara Rp5,5 miliar.
“Uang ditemukan di bawah tempat tidur. Jumlahnya sekitar 3.600 lembar, 36 blok mata uang asing pecahan USD$100,” kata Harli saat konferensi pers, Rabu (23/4).
Penemuan uang tunai dalam penggeledahan itu terjadi setelah Ali Muhtarom memberikan informasi tentang lokasi penyimpanannya. Menurut Harli, penyidik mendapati lokasi setelah adanya komunikasi antara Ali dengan keluarganya.
“Ketika Ali diperiksa, dia berkomunikasi dengan keluarganya, dan dari situ diketahui uang tersebut disimpan di bawah tempat tidur,” jelas Harli.
Meski demikian, Kejagung belum bisa memastikan apakah uang Rp5,5 miliar itu merupakan bagian dari suap kepada Hakim Ali Muhtarom atau berasal dari sumber lain. Penyidik saat ini masih mendalami asal-usul uang tersebut.
“Kita belum bisa simpulkan. Bisa jadi itu uang yang belum digunakan dari aliran suap, atau simpanan dari perkara lain,” ujarnya.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus suap terkait vonis lepas perkara ekspor minyak sawit tersebut. Mereka di antaranya Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta, pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto, Panitera Muda PN Jakut Wahyu Gunawan, serta tiga majelis hakim yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Satu nama lainnya adalah Head of Social Security and License Wilmar Group, Muhammad Syafei.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar menyatakan bahwa total uang suap dalam perkara ini mencapai Rp60 miliar, diduga kuat berasal dari tim legal PT Wilmar Group. Suap diberikan agar para terdakwa mendapatkan vonis lepas.
“Pesan dari PN Jakpus menyebut bahwa perkara harus segera diurus karena majelis bisa memberikan hukuman maksimal melebihi tuntutan jaksa,” tegasnya.
Kasus ini menjadi bukti bahwa praktik suap hakim dan gratifikasi masih menjadi persoalan besar di sistem peradilan Indonesia, khususnya dalam penanganan kasus korupsi besar seperti ekspor CPO.
Komentar