New York, harianbatakpos.com – Pasar saham Amerika Serikat (AS) kembali menggeliat kuat. Indeks saham AS ditutup menguat signifikan pada perdagangan Jumat (6/6/2025) menyusul rilis data ekonomi positif dan kabar pertemuan dagang antara AS dan China. Performa pasar saham ini menjadi sorotan investor global, terutama karena S&P 500 menembus level psikologis 6.000, mendorong sentimen positif terhadap prospek ekonomi global, indeks saham, dan potensi suku bunga rendah dalam waktu dekat.
Pada akhir perdagangan, S&P 500 melonjak 60,36 poin atau 1,02% ke 5.999,66 poin, menyentuh level tertinggi dalam lebih dari tiga bulan dan hanya terpaut 2% dari rekor Februari. Sementara itu, Nasdaq Composite naik 227,67 poin atau 1,18% ke 19.526,12, dan Dow Jones Industrial Average menambah 440,08 poin atau 1,04% ke posisi 42.759,82. Reli ini sebagian besar ditopang oleh saham-saham teknologi dan harapan baru atas perundingan dagang AS–China.
Katalis positif lainnya datang dari pernyataan Presiden Donald Trump bahwa tiga pejabat kabinetnya akan bertemu dengan perwakilan China di London pada 9 Juni 2025. Tujuan pertemuan ini adalah membahas kesepakatan perdagangan yang sempat tertunda akibat ketegangan bilateral dan isu mineral penting.
“Pasar akan terus merespons positif setiap peluang damai dagang. Namun pertanyaannya, apakah kesepakatan itu benar-benar akan tercapai?” ujar Jamie Cox dari Harris Financial Group, menekankan pentingnya kejelasan kebijakan.
Di tengah optimisme itu, laporan Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan penciptaan 139.000 pekerjaan pada Mei, melampaui proyeksi ekonom yang memperkirakan 130.000 pekerjaan. Tingkat pengangguran stabil di angka 4,2%. Data ini memperkuat keyakinan bahwa ekonomi AS masih cukup kuat, namun tak cukup agresif untuk mendorong kenaikan suku bunga dalam waktu dekat.
Para pelaku pasar kini memproyeksikan bahwa Federal Reserve akan menahan suku bunga pada pertemuan bulan ini, dan kemungkinan baru akan memangkas suku bunga pada September dan Desember mendatang. Hal ini memberikan ruang gerak lebih luas bagi investor yang mendambakan pasar saham yang stabil dan prospektif.
“Kami memperkirakan The Fed akan menunggu data tenaga kerja selanjutnya sebelum mengubah arah kebijakan moneternya,” kata Lindsay Rosner dari Goldman Sachs Asset Management. Ia menambahkan bahwa pelemahan sektor jasa dan penggajian swasta bisa memicu pelonggaran moneter lebih lanjut.
Meski demikian, investor tetap mencermati risiko fiskal dan politik dalam negeri. Ketidakpastian terkait pemangkasan pajak, RUU belanja di Senat, serta meningkatnya defisit anggaran mulai menekan sentimen pasar. Hal ini juga memicu ketegangan politik, termasuk friksi antara Trump dan CEO Tesla Elon Musk, yang terang-terangan mengkritik kebijakan fiskal Trump.
“Pertumbuhan utang pemerintah yang tak terkendali bisa menjadi penghambat utama bagi ekspansi ekonomi jangka panjang,” tegas Kristina Hooper dari Man Group.
Di sisi lain, jeda 90 hari tarif Trump yang akan berakhir pada 8 Juli 2025 menjadi titik krusial. Jika tidak ada kesepakatan baru, tarif bisa diberlakukan kembali dan memicu gejolak baru di pasar global.
Ikuti saluran Harianbatakpos.com di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029VbAbrS01dAwCFrhIIz05
Komentar