Opini
Beranda » Berita » Waspada! Tiga Risiko Flexing di Media Sosial

Waspada! Tiga Risiko Flexing di Media Sosial

Waspada! Tiga Risiko Flexing di Media Sosial
Waspada! Tiga Risiko Flexing di Media Sosial

HarianBatakpos.com – Pengguna media sosial setiap harinya semakin bertambah banyak, Berdasarkan data situs wearesosial.com menunjukkan bahwa pada Januari 2024, identitas pengguna aktif media sosial seluruh dunia telah melampaui angka 5 miliar. Kemudian, berdasarkan data worldometers.info, total penduduk seluruh dunia sudah mencapai angka 8 miliar. Artinya, sekitar 62 persen dari seluruh manusia di bumi telah menjadi pengguna aktif media sosial.

Permasalahan yang terjadi adalah sulitnya melakukan kontrol atas unggahan konten di media sosial, sedangkan pengguna media sosial berisikan berbagai macam kalangan dengan tingkat status ekonomi, sosial, politik yang berbeda-beda. Dapat dibayangkan, apabila seseorang atau mengunggah foto atau video kehidupan mewah, prestasi luar biasa, maka dapat memicu ego, rasa iri, dan tidak ingin kalah dari pengguna lain. Akibatnya, terjadilah perang saling memamerkan prestasi serta kemewahan yang sekarang ini dikenal dengan istilah flexing.

Menurut KBBI, flexing atau pamer adalah menunjukkan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri. Contoh flexing di media sosial adalah memamerkan kekayaan, prestasi, kehidupan bahagia, pasangan cantik atau ganteng, kesuksesan dalam bisnis, dll.

Cara Menghitung Matematika dengan Baik dan Benar, 90+6= 96 Bukan 99!

Berdasarkan sudut pandang penulis, flexing atau pamer adalah hak setiap pribadi. Setiap orang bebas menggunggah prestasi yang dimiliki selama tidak merugikan orang lain. Akan tetapi, sebelum memutuskan untuk flexing di media sosial, sebaiknya kita mengenali tiga risiko flexing berikut ini :

  1. Sembarangan Flexing Menyebabkan Kondisi Ekonomi Terganggu

 

Terdapat dua jenis flexing, yaitu flexing untuk mempertahankan kredibilitas dan flexing demi mendapatkan pengakuan. Bagi seorang model terkenal, flexing dengan mengenakan pakaian, perhiasan, jam tangan bermerk dan mahal dapat mempertahankan citra diri, serta kreditibilitasnya. Bagi pebisnis, perlu melakukan flexing dengan membeli mobil mewah agar dapat masuk ke komunitas pebisnis yang memiliki hobi serupa.

Berbeda cerita apabila flexing dilakukan seseorang dengan status sosial, ekonomi biasa saja tetapi ingin terlihat tinggi status sosialnya. Contohnya, kemampuan belanja keinginan kita adalah satu juta rupiah, tetapi memaksakan membeli sepatu viral dengan harga belasan juta rupiah hanya demi pengakuan orang lain, maka bersiaplah pengeluaranmu lebih besar dari pemasukanmu..bahkan dampak terburuknya adalah kamu bisa saja terjerat hutang dan tidak sanggup membayarnya. Jadi, pertimbangkan secara cermat sebelum flexing.

Seni Flexing Kekuasaan

  1. Flexing di Media Sosial, Menjadikanmu Target Kejahatan

 

Apakah kita pernah mendengar kalimat bahwa kejahatan tidak hanya terjadi karena niat pelakunya, tetapi juga ada kesempatan?

Serangkaian flexing di media sosial secara tidak terkontrol dapat membuka celah bagi pelaku kejahatan dalam melakukan aksinya. Contohnya, saat kamu memamerkan isi rumahmu, secara tidak langsung kamu telah memetakan denah rumahmu kepada penjahat. Contoh lainnya, kamu sering memamerkan video anakmu yang lucu, kegiatannya seperti apa, maka kamu juga memberikan informasi akurat kepada penculik anak.

Sesekali mengunggah video atau foto tidak masalah, tetapi bijaklah membagikan hal yang seharusnya bersifat pribadi untuk meminimalisir risiko menjadi target kejahatan.

  1. Flexing Menyebabkan Ketidakbahagiaan

 

Ketika seseorang merasa rendah diri karena membandingkan dirinya dengan kehidupan orang lain, terutama di media sosial, maka orang tersebut rentan melakukan flexing. Memang saat flexing, timbul perasaan puas, bangga, bahagia karena dipandang orang lain, akan tetapi perasaan tersebut adalah bersifat semu.

Keterikatan agar selalu tampil “wah” di media sosial menyebabkan kita selalu merasa cemas tentang bagaimana orang lain menilai kita. Hal ini sejalan dengan kutipan artikel halodoc.com tentang flexing dapat memperburuk kecemasan sosial karena selalu merasa tertekan untuk menunjukkan kekayaan, kesuksesan di media sosial agar mendapat pengakuan orang lain.

Apabila kecemasan tersebut tidak ditanggulangi, tidak dikelola dengan baik, bahkan diabaikan, maka risiko terburuknya adalah kita tidak akan pernah merasakan kebahagian. Kebahagiaan sejati dapat diperoleh saat merasa cukup, serta dalam kecukupan tersebut mampu membantu sesama.

Demikian tiga risiko dari flexing di media sosial. Kesimpulan dari penulis adalah walaupun tidak ada aturan atau larangan untuk flexing, namun dengan menyadari dampak buruk dari flexing sembarangan justru merugikan diri sendiri, maka bijaklah dalam mengambil keputusan apa pun.

Referensi :

Tentang Penulis

Suhartommy Salim, lulusan sarjana ekonomi tahun 2023 di STIE Triguna Bogor, memiliki keinginan untuk berkontribusi dalam meningkatkan pendidikan. Salah satu bentuk nyata penulis adalah dengan menjadi relawan pendidikan serta menulis di media sosial. Harapan penulis agar kesadaran kita akan pentingnya pendidikan semakin tinggi dan mampu menjangkau orang banyak lewat tulisan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Postingan Terpopuler

BatakPos TV

Kominfo Padang Sidempuan

Kominfo Padang Sidempuan