Medan, HarianBatakpos.com – Darurat militer yang diumumkan oleh Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol telah memicu konsekuensi serius, termasuk ancaman hukuman mati atas dakwaan ‘pemberontakan’. Pengumuman ini mengejutkan publik dan dunia internasional, terjadi pada Selasa (3/12) tengah malam, ketika Yoon secara tiba-tiba memutuskan untuk menangguhkan pemerintahan sipil dan menempatkan tentara serta helikopter militer di gedung parlemen.
Setelah pengumuman tersebut, para anggota parlemen dari kubu oposisi segera menggelar voting, yang menghasilkan penolakan bulat terhadap darurat militer. Hasil voting ini secara hukum wajib dipatuhi oleh Yoon, yang akhirnya mengumumkan pencabutan darurat militer setelah berlangsung sekitar enam jam. Meskipun darurat militer dicabut, langkah itu memicu partai-partai oposisi untuk mengajukan mosi pemakzulan terhadap Yoon, tuduhan bahwa ia telah “sangat melanggar konstitusi dan hukum.” , disadur dari detik.com.
Jika mosi pemakzulan tersebut berhasil, Yoon akan dinonaktifkan dari jabatannya, menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah memiliki waktu 180 hari untuk menyidangkan kasus ini, dan jika enam hakim menyetujui pemakzulan, pemilihan presiden baru harus digelar dalam waktu 60 hari setelah pemakzulan resmi.
Namun, ancaman Yoon tidak berhenti di situ. Ia juga terancam diselidiki oleh pihak kepolisian atas dugaan ‘pemberontakan.’ Aduan resmi dari oposisi memicu penyelidikan, yang tidak hanya menyasar Yoon, tetapi juga Menteri Dalam Negeri Lee Sang Min dan mantan Menteri Pertahanan Kim Yong Hyun. Dakwaan ‘pemberontakan’ ini merupakan tindak kejahatan yang melampaui kekebalan presiden dan dapat berujung pada hukuman mati.
Meskipun hukuman mati masih sah di Korsel, laporan menunjukkan bahwa tidak ada eksekusi yang dilakukan sejak 1997. Situasi ini menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi dari tindakan Yoon, yang bisa mengubah arah politik di Korsel secara drastis.
Komentar