
Perilisan film "Vina: Sebelum 7 Hari" pada 8 Mei 2024 mendatang telah menimbulkan pro kontra di kalangan warganet.
Kisah yang diangkat dari peristiwa nyata kematian Vina dan kekasihnya oleh geng motor pada tahun 2016 di Cirebon, membuat sebagian orang tidak setuju dengan keputusan untuk memfilmkannya, dilansir dari Suara.com.
Sebelum film ini bahkan tayang, poster yang menampilkan gambar Vina dalam keadaan tak berdaya dan mengenaskan telah membuat banyak orang terganggu. Industri perfilman tanah air dikritik karena dianggap mencoba memonetisasi tragedi yang traumatis.
Warganet, seperti yang diungkapkan oleh akun X @IanSalim, menyuarakan keprihatinan mereka dan bahkan mengusulkan untuk melakukan pemboikotan terhadap film tersebut agar tidak sampai tayang.
Mereka merasa bahwa film ini tidak layak untuk diproduksi dan ditonton, dan khawatir bahwa kontroversi dan eksploitasi tragedi tersebut justru akan membuat film tersebut menjadi laris di pasaran.
Di tengah sorotan tersebut, Ernest Prakasa, seorang sutradara dan produser film Indonesia, memberikan komentarnya. Ia mengakui bahwa film "Vina: Sebelum 7 Hari" berada di ambang moralitas yang rumit, karena bagi banyak orang, film ini dianggap sebagai eksploitasi tragedi.
Namun, Ernest juga menyoroti bahwa ada banyak tanggapan positif terhadap film ini, seperti yang terlihat dari komentar-komentar positif di trailer yang terpajang di media sosial.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa kontroversi seputar film ini lebih berkaitan dengan etika daripada hukum, sehingga sulit untuk diberlakukan pemboikotan secara luas.
Ernest menekankan bahwa integritas dalam seni adalah hal yang relatif, karena bergantung pada sudut pandang individu.
Baginya, nilai-nilai yang baik akan tercermin dalam karya seni seseorang, namun hal ini bersifat subjektif dan tidak dapat dipaksakan kepada orang lain.
Dengan membuka perspektifnya, Ernest Prakasa memberikan sudut pandang yang menarik terkait kontroversi film "Vina: Sebelum 7 Hari".
Diskusi seputar etika dalam industri perfilman menjadi semakin relevan, serta menunjukkan kompleksitas dalam memahami kebebasan berekspresi seni dalam masyarakat.
Komentar