Medan, Harianbatakpos.com — Kasus Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, memunculkan persoalan yang tak hanya berkaitan dengan proses hukum, tetapi juga berdampak pada dunia pendidikan. Supriyani dituduh melakukan kekerasan terhadap seorang murid yang merupakan anak dari anggota kepolisian, Aipda WH. Imbasnya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Baito sempat mengeluarkan surat keputusan yang hampir membuat anak-anak korban dan saksi dalam kasus tersebut kehilangan hak untuk melanjutkan pendidikan di wilayah setempat.
Ketua PGRI Baito, Hasna, awalnya mengeluarkan surat bernomor 420/13/PGRI/10/2024 yang berisi keputusan untuk tidak menerima siswa yang menjadi saksi dalam kasus Supriyani. Namun, setelah koordinasi dengan PGRI Sulawesi Tenggara dan Dinas Pendidikan, keputusan tersebut dibatalkan. Menurut Hasna, langkah ini diambil untuk memastikan hak pendidikan siswa tetap terjamin tanpa diskriminasi.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Konawe Selatan, Asriani, mengkritik langkah awal PGRI Baito yang dianggap mengabaikan hak anak untuk belajar. Ia menegaskan bahwa hukum tidak boleh mengesampingkan hak pendidikan anak, baik bagi korban maupun saksi dalam kasus ini. “Proses hukum yang berlangsung tidak seharusnya mengorbankan hak belajar siswa,” kata Asriani. KPAD Konawe Selatan juga memberikan pendampingan kepada para korban dan saksi agar mereka tetap bisa menjalani pendidikan tanpa merasa tertekan oleh situasi yang ada.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solehah, melakukan kunjungan ke Konsel untuk memantau kondisi siswa yang diduga menjadi korban kekerasan. Ia menyatakan bahwa kunjungan ini bertujuan memastikan kondisi psikologis anak tetap terjaga dan hak-hak dasar mereka, terutama hak pendidikan dan hak bersosialisasi, tidak terganggu oleh kasus ini. Maryati menekankan bahwa dalam situasi ini, perlindungan terhadap anak menjadi prioritas yang harus diperhatikan semua pihak.
Ketua Umum PGRI, Prof. Unifah Rosidi, menyatakan dukungannya untuk membebaskan Supriyani dari tuduhan dan menegaskan agar semua hak Supriyani sebagai guru honorer dipulihkan. Menurutnya, kasus ini merupakan tanda perlunya perlindungan lebih bagi guru dari tindakan kriminalisasi. Komisi X DPR RI turut mendorong adanya undang-undang perlindungan guru, karena kasus serupa yang menimpa Supriyani bukanlah yang pertama. Anggota Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, menyatakan bahwa langkah pemberian status PPPK kepada Supriyani yang dijanjikan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah belum cukup. Perlindungan lebih komprehensif terhadap guru dinilai sangat mendesak.
Kasus Supriyani ini mencerminkan pentingnya menjaga keseimbangan antara perlindungan guru dan hak anak dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, pendidikan seharusnya memberikan rasa aman bagi anak-anak tanpa diskriminasi; sementara di sisi lain, peran guru harus dihormati sebagai tenaga pendidik yang berhak mendapatkan perlindungan hukum. Komisi X DPR RI dan PGRI mendesak agar regulasi yang melindungi guru dari kriminalisasi segera direalisasikan, dengan harapan kasus serupa tidak lagi terulang.
Di tengah tantangan ini, para pengamat pendidikan mengharapkan penyelesaian kasus Supriyani dapat menjadi momentum untuk memperkuat regulasi yang melindungi hak-hak dasar siswa sekaligus menjaga martabat profesi guru.BP/CW1
Komentar