Indonesia dalam Cengkeraman Deflasi: Apa Langkah Selanjutnya?

Deflasi dan inflasi adalah dua fenomena ekonomi yang berkaitan dengan perubahan harga barang dan jasa, tetapi mereka memiliki karakteristik dan dampak yang berbeda, BP/LB
Deflasi dan inflasi adalah dua fenomena ekonomi yang berkaitan dengan perubahan harga barang dan jasa, tetapi mereka memiliki karakteristik dan dampak yang berbeda, BP/LB

Medan, Harianbatakpos.com - Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut hingga September 2024. BPS melaporkan bahwa Indonesia pertama kali mengalami deflasi sebesar 0,03 persen pada Mei 2024. Angka deflasi kemudian turun menjadi 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen di Juli, 0,03 persen di Agustus, dan 0,12 persen di September.

Sebagai perbandingan, Indonesia mencatat inflasi sebesar 0,04 persen pada Januari, 0,37 persen pada Februari, 0,52 persen pada Maret, dan 0,24 persen pada April. Deflasi yang terjadi diyakini merupakan kondisi terburuk yang dialami Indonesia sejak 1999. Terakhir kali Indonesia mengalami deflasi berturut-turut adalah selama pandemi Covid-19.

Pengertian Deflasi- Inflasi
Deflasi merupakan fenomena penurunan harga barang dan jasa dalam suatu wilayah. Penurunan harga ini terjadi akibat berkurangnya jumlah uang yang beredar, sehingga daya beli masyarakat menurun.

Secara umum, deflasi disebabkan oleh penurunan peredaran uang di masyarakat, yang terjadi ketika banyak uang disimpan di bank. Permintaan barang dan jasa yang berkurang, meskipun produksinya meningkat, juga dapat menyebabkan deflasi. Selain itu, masyarakat mungkin mengurangi konsumsi barang dan jasa karena merasa bosan atau membatasi pembelian. Perlambatan kegiatan ekonomi turut berkontribusi pada terjadinya deflasi.

Sementara, inflasi merupakan kondisi di mana harga barang dan jasa meningkat secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu, yang terjadi akibat meningkatnya peredaran uang di masyarakat, sehingga nilai mata uang menurun.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menjelaskan bahwa deflasi yang dialami Indonesia selama lima bulan ini disebabkan oleh melemahnya permintaan barang dan jasa oleh publik. Ia menegaskan bahwa kondisi deflasi bukanlah hasil dari keberhasilan mengendalikan inflasi, melainkan menunjukkan bahwa masyarakat sedang menahan diri untuk berbelanja.

"Bahkan ini bukan sekadar menahan belanja, tetapi jumlah uang yang tersedia untuk dibelanjakan masyarakat sudah berkurang," ungkapnya

Menurutnya, masyarakat kehabisan uang akibat situasi perekonomian yang memburuk. Beberapa faktor yang berkontribusi pada memburuknya ekonomi Indonesia antara lain adalah kenaikan upah pekerja yang terlalu kecil, efek dari suku bunga yang tinggi, serta terbatasnya lapangan kerja di sektor formal.

Selain itu, masih banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan peningkatan tarif PPN menjadi 11 persen turut memperburuk kondisi. Akibatnya, masyarakat kelas menengah kesulitan mencari pekerjaan, sementara masyarakat
kelas menengah atas mengurangi belanja karena khawatir akan situasi ekonomi yang memburuk.

Dampak Deflasi-Inflasi
Bhima Yudhistira Adhinegara menekankan bahwa deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut dapat memengaruhi pelaku usaha, terutama di sektor industri makanan dan minuman, tekstil, alas kaki, serta properti. Ia memperingatkan bahwa kondisi deflasi ini dapat berujung pada resesi ekonomi jika tidak segera dicegah.

"Deflasi bisa berlanjut hingga menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru), yang secara musiman biasanya mendorong inflasi dari sisi permintaan karena banyak orang membeli barang dan jasa saat Nataru," tambahnya.

Direktur Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengonfirmasi bahwa Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan terakhir yang berbeda dari kondisi biasanya.

"Saya mencatat, kondisi deflasi saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik," katanya saat dihubungi oleh Kompas.com, Rabu. Dia mencatat bahwa Indonesia sebelumnya mengalami deflasi berbulan-bulan pada 2008-2009 yang disebabkan oleh krisis global.

Deflasi juga terjadi selama masa pandemi Covid-19 akibat faktor-faktor tidak biasa yang menyebabkan permintaan barang dan jasa melemah. Nailul Huda menyebut bahwa deflasi saat ini banyak dipicu oleh kebijakan pemerintah yang kurang tepat, yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun.

"Dampak yang paling saya khawatirkan adalah peningkatan jumlah pengangguran. Pertumbuhan ekonomi bisa melambat, dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat semakin jauh," lanjutnya.

Jika permintaan barang dan jasa menurun akibat deflasi, produksi akan melambat, yang dapat menyebabkan perusahaan memangkas produksi dan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Langkah yang dapat Diambil oleh Masyarakat dan Pemerintah
Untuk menghadapi deflasi tersebut, Bhima menganjurkan masyarakat untuk lebih fokus menggunakan uang mereka untuk belanja kebutuhan pokok. Guna mengatasi kondisi deflasi, ia menyarankan pemerintah untuk menunda pembangunan megaproyek infrastruktur dan lebih baik menggunakan anggaran tersebut untuk program perlindungan sosial bagi masyarakat yang terdampak.

Pemerintah juga diminta untuk memperkuat sektor industri dengan menarik investasi yang lebih berkualitas untuk industri padat karya yang berkelanjutan. Selain itu, sektor pertanian dan perikanan perlu didorong dengan bantuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang lebih besar, seperti subsidi pupuk dan pendampingan bagi petani muda.

"Pemerintah harus memberikan jaring pengaman sosial tambahan bagi pekerja gig economy dan mempercepat pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah," tambah Bhima.

Sementara itu, Nailul Huda mendorong pemerintah untuk lebih bijak dalam menyusun kebijakan yang tidak berdampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga.

"Rencana kenaikan tarif PPN tahun depan bisa dibatalkan, dan pembatasan Pertalite harus dilakukan secara matang dengan mempertimbangkan unsur keadilan bagi penerima subsidi," imbuhnya.

Penulis: Zahra Saritza

Baca Juga