Investor Perlu Strategi Adaptif Hadapi Ketidakpastian Global

Jakarta, HarianBatakpos.com - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai bahwa para investor perlu menerapkan strategi investasi adaptif guna menghadapi ketidakpastian global yang terus meningkat. Faktor-faktor seperti perang tarif, volatilitas pasar finansial, serta kebijakan moneter yang belum menentu menjadi tantangan utama bagi investor di tahun ini.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jadi Sorotan
Di tengah tekanan eksternal ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi faktor yang sangat diperhatikan. Investment Specialist MAMI, Dimas Ardhinugraha, menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah saat ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara menopang pertumbuhan ekonomi jangka pendek melalui konsumsi dan memastikan keberlanjutan ekonomi jangka panjang melalui investasi.
"Konsumsi domestik saat ini masih mengalami pelemahan, terlihat dari kontribusi konsumsi terhadap PDB Indonesia sebelum pandemi yang berada di kisaran 55-58 persen, sementara saat ini turun menjadi sekitar 54 persen.
Pemulihan ekonomi pasca pandemi yang tidak merata menjadi penyebab utama dari lemahnya konsumsi dan berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi," ujar Dimas dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.
Kebijakan Pemerintah dalam Mendorong Konsumsi
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan populis guna mendorong konsumsi masyarakat.
Beberapa kebijakan tersebut di antaranya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG), kenaikan upah minimum regional (UMR), kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN), serta pembatalan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN).
Langkah ini diharapkan mampu memberikan dorongan cepat bagi perekonomian nasional, mengingat konsumsi masih menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan masyarakat Indonesia, dengan proporsi mencapai 74 persen.
Namun, Dimas menegaskan bahwa meskipun konsumsi domestik menjadi faktor penting, investasi tetap harus menjadi prioritas utama untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Target Pertumbuhan Investasi
Pemerintah menargetkan pertumbuhan investasi sebesar 8 persen guna mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen.
Salah satu strategi yang diterapkan adalah pembentukan Danantara, yang diharapkan dapat mengoptimalkan pengelolaan aset negara. Meskipun demikian, masih terdapat ketidakpastian terkait transparansi pengelolaannya.
Di sektor pasar keuangan, ketidakpastian global turut memberikan tekanan terhadap pasar saham Indonesia yang mengalami penurunan tajam. Sementara itu, pasar obligasi masih menunjukkan ketahanan yang cukup baik.
Dimas menilai bahwa stabilitas nilai tukar dan pelonggaran likuiditas menjadi faktor penting dalam memulihkan kepercayaan investor.
"Secara historis, pasar saham cenderung mencatat kinerja positif saat nilai tukar rupiah stabil atau menguat, serta kondisi likuiditas melonggar," jelasnya.
Ketahanan Pasar Obligasi dan Prospek Investasi
Meskipun pasar saham mengalami tekanan, pasar obligasi justru menunjukkan daya tarik yang meningkat bagi investor asing.
Salah satu faktornya adalah kebijakan Bank Indonesia (BI) yang masih membuka peluang pemangkasan suku bunga.
Dimas menjelaskan bahwa penurunan imbal hasil Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) menjadi faktor utama yang mendorong investor untuk kembali melirik Surat Berharga Negara (SBN) sebagai instrumen investasi yang lebih aman.
"Namun demikian, risiko tetap ada, terutama akibat dinamika pasar global yang masih tinggi serta persepsi investor terhadap kebijakan domestik.
Oleh karena itu, investor disarankan untuk memiliki portofolio investasi yang terdiversifikasi guna mengurangi risiko dan tetap berinvestasi untuk menangkap potensi pergerakan pasar," tambahnya.
Dampak Kebijakan Tarif Amerika Serikat terhadap Ekonomi Global
Di sisi eksternal, kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) menjadi tantangan tambahan bagi ekonomi global.
Pengenaan tarif sebesar 25 persen terhadap baja Indonesia yang diekspor ke AS dinilai memiliki dampak langsung yang terbatas, mengingat ekspor baja hanya mencakup 0,07 persen dari total ekspor Indonesia.
Namun, risiko tidak langsung dari perlambatan perdagangan global tetap menjadi perhatian utama. "Saat ini, risiko tarif masih terbilang minim.
Yang perlu diantisipasi adalah dampak tidak langsung yang muncul akibat perlambatan perdagangan global dan penurunan permintaan ekspor dari Indonesia, serta potensi kenaikan harga barang impor," kata Dimas.
Lebih lanjut, Dimas menyoroti kebijakan moneter The Fed dan BI yang masih berhati-hati dalam menurunkan suku bunga.
The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin tahun ini, sementara BI tetap fokus menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi.
"Proyeksi MAMI untuk BI Rate hingga akhir tahun ini berada di kisaran 5,25-5,50 persen," ungkapnya.
Komentar