Kampanye Pilpres Masih Sebatas Perang Diksi dan Narasi

Jakarta-BP: Kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 masih sebatas perang diksi dan narasi yang dilakukan oleh aktor politik di dua kubu pasangan kandidat.

Selain tidak produktif, perilaku yang ditunjukan mereka dinilai tidak mendidik masyarakat, bahkan menjauhkan masyarakat dari komunikasi politik yang beradab.

Pengamat politik Emrus Sihombing mengatakan, diksi dan narasi yang muncul seolah berhadap-hadapan antara poros satu dengan poros lain. Di satu sisi muncul ungkapan dan narasi tentang ekonomi kebodohan, menteri pencetak utang, anggaran negara bocor Rp500 triliun, negara punah. Semua itu dinilai abstrak.

Di sisi lain, kata dia, mengemuka pandangan dan ungkapan terkait konsep politik sontoloyo, genderuwo dan propaganda Rusia. Sebutan ini juga masih sulit untuk merumuskan batasannya.

"Lontaran dari kedua kubu tersebut, dari aspek komunikasi, berpotensi menimbulkan polarisasi “sempit” di tengah masyarakat. Berdasarkan pandangan kedua kubu tersebut, saya berpendapat, pola komunikasi politik semacam ini harus sesegera mungkin kita hentikan," tutur Emrus dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Kamis (14/2/2019).

Menurut dia, realitas komunikasi politik di atas mengandung dua kerugian sekaligus. Pertama, rakyat dirugikan karena perang diksi dan narasi yang mampu “mengubur” dalam-dalam daya kritis masyarakat terhadap program dari kedua kubu kandidasi.

"Energi rakyat terkuras kepada perang komunikasi politik yang tidak produktif. Rakyat seolah hanyut dalam arus wacana dari para elitis. Akibatnya, ketika salah satu kandidat memenangkan kontestasi Pilpres 2019, rakyat amat sulit menagih janji politik sebuah rezim yang berkuasa karena sudah terkubur oleh wacana perang diksi dan narasi," tutur Direktur Eksekutif Emrus Corner ini.

Kedua, lanjut dia, konsekuensi perang diksi dan narasi berpotensi kuat memanipulasi persepsi dan emosi rakyat dalam menentukan pilihan terhadap salah satu dari dua pasangan calon.

Bukan tidak mungkin, menurut dia, rakyat memilih atas pertimbangan emosional, persepsi yang disesatkan, dan berdasarkan suka tidak suka kepada salah satu pasangan calon. "Sebagai akibat dari perang diksi dan narasi yang dilontarkan oleh sebagian aktor politik dari kedua kubu," tandas Emrus.

Dia memaparkan kedua faktor di atas sangat tidak baik menumbuhkembangkan kedewasaan demokrasi di negeri ini. Kedewasaan demokrasi akan terbangun dengan baik bila para aktor politik menawarkan ide, gagasan dan program yang terukur dengan kemasan pesan komunikasi berbasis rasionalitas.

"Karena itu kepada rakyat harus diberikan sajian diksi dan narasi yang berbasis fakta, data, bukti dan argumentasi yang kuat," tuturnya.

Menurut dia, perang narasi dan diksi yang terjadi hingga kini sama sekali jauh dari tujuan kampanye dalam suatu kontestasi politik yang mencerdaskan rakyat dan mendorong rasionalitas menentukan pilihan.

"Sebab dalam suatu kampanye politik yang mendidik, sejatinya berlomba-lomba menawarkan visi, misi dan program yang terukur secara kuantitatif serta mampu menciptakan suasana tenang dan damai secara kualitatif. Bukan menimbulkan suasana 'panas' di tengah masyarakat," tuturnya.

(SindoNews) BP/JP

Penulis:

Baca Juga