Membalut Bungkus Terorisme

BOM bunuh diri “begundal” teroris di tiga gereja (Santa Maria Tak Bercela, GKII dan GPPS), dan Rusunawa Sidoarjo, Minggu (13/05/2018), dan Mapolresta Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Senin (14/05/2018), yang merenggut puluhan nyawa dan yang terluka parah, merupakan peristiwa paling biadab dan sangat melampaui rasa prikemanusiaan.

Mereka yang berada di pusaran “teroris”, yang ingin memecah-belah kerukunan umat beragama, khususnya Islam dan Kristen, sehingga terjadi kekacauan luar biasa. Mereka menginginkan terjadinya tindakan balasan, bahwa kejahatan harus dibalas dengan kejahatan atau bom bunuh diri harus diikuti dengan bom bunuh diri lainnya.

Mereka yang berada di pusaran “teroris”, yang dicekoki doktrin menyesatkan itu, merasa demikian leluasa memanfaatkan situasi demi situasi kehidupan bersosialisasi di tengah masyarakat, yang akan dijadikan target bom bunuh diri.

Ketidaktegasan kepala lingkungan atau Babinsa dalam menjaga keamanan lingkungannya, terkait wajib lapor 1 x 24 jam bagi tamu dan kelanjutan pengamatan terhadap prilaku penghuni baru di lingkungan masing-masing, patut dipertanyakan.

Karena, lemahnya penegakan peraturan yang sudah ditetapkan dan tidak maksimalnya pengawasan terhadap prilaku penghuni baru, menjadi pintu masuk keleluasaan para teroris dalam mewujudkan tujuannya.

Jika para teroris, disebut-sebut sebagai kelompok yang sudah terlatih, itu artinya mereka sangat paham sekali membaca situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), dimana mereka menjadi penghuni baru di setiap lingkungan yang dijadikan sasaran atau tujuan tindakan bom bunuh diri.

 Membalut Bungkus Teroris

Kita, sudah tidak saatnya lagi mempersoalkan siapa atau lembaga ketahanan mana yang salah. Yang terpenting saat ini, adalah bagaimana membalut bungkus gerakan teroris di negeri ini. Agar mereka, tidak merasa demikian leluasa bermain-main dalam melukai, melukai dan melukai perasaan anak negeri, melalui tindakan bom bunuh diri.

Pemerintah yang diharapkan dapat memberi garansi kepada masyarakatnya, bahwa teroris pasti dibumihanguskan dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air, Indonesia, menjadi lebih fokus dan tegas bertindak. Lebih tegas menekan para anggota legislatif di DPR RI, untuk menjadikan Rancangan Undang-Undang Teroris, menjadi Undang-Undang Teroris.

Kemudian, terkait membalut bungkus atau melumpuh-matikan gerakan para teroris, Pemerintah diharapkan dapat lebih tajam dalam memberikan dukungan terhadap adanya gerakan-gerakan yang demikian peduli terhadap ketahanan, ketertiban dan kenyamanan di pedesaan, yang peduli dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu dari gerakan dimaksud, adalah Gerakan Daulat Desa (GDD) dan @Rumah Gotong Royong (RGR) yang diinisiasi Gus Solah, Buya Syafii, Abdon Nababan, Maya Rumantir, Calon Wagubsu dengan nomor urut 2 Sihar Sitorus dan lainnya, yang saat ini sudah bergerak di 33 provinsi, khususnya di Provinsi Sumatera Utara.

GDD/@RGR, bergerak dalam upaya membangkitkan atau meningkatkan penguatan perekonomian keluarga (kemandirian ekonomi), rasa kebersamaan, rasa kegotong-royongan dan rasa empati terhadap sesama yang dimulai dari pedesaan.

GDD/@RGR, merupakan gerakan humanisasi, yakni bagaimana memanusiakan manusia sebagai manusia, yang benar-benar menyadari bahwa kehadiran atau keberadaannya sangat bermanfaat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam berbangsa dan bernegara di negeri ini, Indonesia.

GDD/@RGR, yang salah satu misinya, membangkitkan kembali rasa kebersamaan atau rasa peduli terhadap sesama, yang dikhawatirkan dapat semakin memudar, jika tidak diberikan sentuhan khusus.

GDD/@RGR, patut mempertajam partisipasinya dalam membalut bungkus gerakan para teroris dengan penguatan kehidupan sosial kemasyarakat pedesaan yang lebih manusiawi. Agar masyarakat pedesaan tidak menjadi gampang dipengaruhi oleh doktrin-doktrin menyesatkan dari para teroris, yang masuk dari pintu ketidak-berdayaan masyarakat secara ekonomi dan minimnya pengetahuan terkait ajaran agama dan memudarnya rasa kemanusiaan.

Ketidak-berdayaan ekonomi, rendahnya pengetahuan terkait ajaran agama yang dianut dan memudarnya rasa kemanusiaan, agar lebih optimal dikemas penanganannya dalam membalut bungkus gerakan para teroris.

GDD/@RGR, menjadi sangat penting“mempertajam” keberadaan dan kehadirannya di tengah kehidupan sosial kemasyarakatan di pedesaan, khususnya, dalam menyelematkan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang lebih aman, nyaman, tenteram dan sejahtera. (PENULIS, aktifis GDD/@RGR Sumut, dan Redaktur Pelaksana harianbatakpos.com)

Penulis:

Baca Juga