Selama masa kolonial Hindia Belanda, pelaksanaan salat Idul Fitri tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga diizinkan di tempat terbuka. Bahkan, pemerintah kolonial turut menyediakan transportasi ekstra untuk memudahkan mobilitas umat Islam menuju tempat ibadah. Sebuah contoh terkenal adalah pelaksanaan salat Idul Fitri di Waterlooplein (Lapangan Waterloo), yang kini dikenal sebagai Lapangan Banteng.
Menariknya, media kala itu telah memperhatikan dengan seksama acara-acara semacam itu. Pada tahun 1939, sebuah artikel di Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie mencatat bahwa pelaksanaan ibadah tersebut adalah yang kedua belas kalinya diadakan di tempat terbuka di ibukota negara. Acara tersebut diorganisir oleh panitia yang terdiri dari 14 organisasi massa dengan dukungan dari berbagai pihak.
Salah satu hal yang menarik dari pelaksanaan Idul Fitri di era kolonial adalah bahwa pemerintah Hindia Belanda umumnya tidak ikut campur dalam urusan peribadatan masyarakat pribumi. Mereka tidak terlalu peduli dengan perayaan Ramadan atau Idul Fitri, kecuali jika aktivitas keagamaan tersebut berpotensi menimbulkan kekacauan atau mengganggu ketertiban umum.
Namun demikian, ada beberapa pengecualian di mana pemerintah kolonial mulai memperhatikan aktivitas keagamaan tertentu. Misalnya, ketika pribumi melakukan perjalanan haji dan membawa pemikiran baru dari Timur Tengah, Belanda mulai khawatir bahwa hal itu dapat memicu pemberontakan atau perlawanan terhadap kekuasaan kolonial mereka.
Untuk mengawasi aktivitas pribumi, Hindia Belanda mendirikan Het Kantoor Voor Indlandsche Zaken atau Penasihat Urusan Pribumi. Fungsi lembaga ini, menurut sejarawan, adalah untuk melaksanakan ide politik Snouck Hurgronje, yaitu menjinakkan Islam sebagai aspirasi politik. Bahkan, lembaga ini memiliki otoritas untuk menetapkan awal Ramadan dan Idul Fitri, menunjukkan pengaruh besar pemerintah kolonial dalam urusan keagamaan.
Tradisi-tradisi selama Ramadan dan Idul Fitri di era kolonial juga memiliki perbedaan dengan praktik modern. Misalnya, awal Ramadan ditandai dengan dentuman bedug, bukan pengumuman melalui surat kabar atau radio seperti sekarang. Namun, ada satu tradisi yang mulai menghilang seiring berjalannya waktu, yaitu tradisi merekap anggota keluarga yang telah meninggal.
Komentar