Teluk Kuantan, harianbatakpos.com – Festival Pacu Jalur Kuansing kembali menarik perhatian nasional hingga mancanegara. Salah satu pemicunya adalah viralnya tren Aura Farming, yakni aksi anak-anak penari jalur yang lincah meliuk di ujung perahu saat lomba. Aksi ini menjadi fenomena unik dalam tradisi budaya Pacu Jalur, menampilkan kekompakan dan semangat khas masyarakat Riau yang membanggakan.
Di balik tren ini, Pacu Jalur adalah lomba perahu tradisional yang telah mengakar selama ratusan tahun di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau. Tradisi ini mencerminkan solidaritas, kehormatan kampung, dan nilai spiritual dalam masyarakat Melayu. Tak heran jika sejak 2014, Pacu Jalur ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kemendikbudristek RI.
Sejarah Pacu Jalur: Dari Transportasi ke Tradisi Lomba Perahu
Mengutip dari Digital Kuansing, sejarah Pacu Jalur dimulai pada abad ke-17. Awalnya, perahu jalur digunakan sebagai alat angkut hasil bumi di Sungai Kuantan. Lama kelamaan, kegiatan ini berkembang menjadi perlombaan antar-desa yang diselenggarakan pada hari-hari besar dan pesta adat.
Masa kolonial Belanda menjadikan Pacu Jalur sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Ratu Belanda. Pasca-kemerdekaan, perlombaan dijadikan agenda tahunan setiap Agustus dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia. Lokasi utamanya kini berada di Tepian Narosa Teluk Kuantan, yang menjadi sentral kegiatan budaya masyarakat Kuansing.
Dalam dokumen Kemendikbud, disebutkan bahwa Pacu Jalur lahir dari kebutuhan transportasi sungai yang berkembang menjadi simbol kekuatan antar-kampung, sarana adu sportifitas, serta ajang kebanggaan komunal.
Makna Filosofis di Balik Pacu Jalur
Lebih dari sekadar lomba, makna Pacu Jalur mengandung unsur spiritual dan budaya. Proses pembuatan perahu jalur dimulai dari pemilihan pohon besar di hutan, yang dilakukan melalui ritual adat oleh tokoh kampung. Ritual ini menandai awal keberkahan dan perlindungan terhadap awak jalur.
Sebelum lomba dimulai, diadakan upacara buka jalur, yakni pembersihan spiritual dan permohonan doa keselamatan. Dukun kampung memimpin prosesi ini sebagai simbol perlindungan dan keberuntungan tim jalur.
Setiap perahu diisi oleh awak yang memiliki peran penting, mulai dari komando jalur, juru mudi, tukang gelek (penabuh irama), hingga penari jalur yang biasanya adalah anak-anak. Menurut Kemenparekraf, kehadiran penari jalur membawa semangat dan energi spiritual yang dipercaya memperkuat seluruh awak perahu.
Festival Pacu Jalur 2025: Warisan Lokal yang Mendunia
Festival Pacu Jalur di Kuansing saat ini telah menjadi ajang budaya tahunan berskala besar. Lokasinya di Tepian Narosa, dan diikuti oleh puluhan hingga ratusan jalur dari berbagai desa di Riau. Dengan panjang perahu mencapai 40 meter dan awak hingga 60 orang, Pacu Jalur benar-benar menjadi atraksi luar biasa.
Setiap jalur dihias penuh warna: dari kepala naga, payung kuning, hingga umbul-umbul megah, menandakan identitas dan kekuatan kampung peserta. Selain lomba, acara ini juga dimeriahkan oleh panggung budaya, pertunjukan seni daerah, hingga bazar UMKM yang menggerakkan ekonomi lokal.
Festival ini tak hanya memikat wisatawan lokal, namun juga mendatangkan turis asing ke Riau, sekaligus mempromosikan kekayaan budaya Indonesia di kancah internasional. Dengan semangat kebersamaan dan nilai budaya yang terjaga, Pacu Jalur Kuansing menjadi bukti kekuatan warisan lokal yang terus mendayung ke masa depan.
Untuk kabar terbaru lainnya, ikuti saluran resmi harianbatakpos.com di WhatsApp:
https://whatsapp.com/channel/0029VbAbrS01dAwCFrhIIz05
Komentar