harianbatakpos.com – Gelar Doktor Honoris Causa (HC) merupakan penghargaan bergengsi yang diberikan kepada individu yang dinilai memiliki kontribusi signifikan di bidang pengetahuan, teknologi, budaya, atau keilmuan lainnya. Namun, menurut Pengamat Kebijakan dan Pendiri Universitas Airlangga (Unair), Agie Nugroho Soegiono, S IAN M PP, proses pemberian gelar ini bukanlah hal yang bisa dilakukan sembarangan. Ada persyaratan ketat yang harus dipenuhi untuk menjaga kredibilitas gelar dan institusi yang memberikannya.
Dalam keterangannya, Agie menjelaskan bahwa gelar HC hanya dapat diberikan kepada mereka yang memiliki rekam jejak dan kontribusi yang luar biasa. Hal ini sesuai dengan Permendikbud No. 65 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa program studi yang memberikan gelar tersebut harus sudah terakreditasi A atau Unggul. Selain itu, calon penerima harus memiliki kontribusi yang signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, atau kemanusiaan.
Baru-baru ini, pemberian gelar HC kepada selebritas Raffi Ahmad menimbulkan perdebatan. Meski Raffi diusulkan mendapatkan gelar dari cabang Universitas UIPM di Indonesia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menolak pengakuan gelar tersebut. Salah satu alasannya, kampus UIPM belum memiliki izin pendirian resmi di Indonesia.
Agie menekankan bahwa gelar HC harus diberikan dengan penuh kehati-hatian dan transparansi. Ia mencontohkan pentingnya Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 9, yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012. Seorang penerima gelar doktor, jelas Agie, harus mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, atau seni baru dalam bidang keilmuan, serta menghasilkan karya kreatif dan teruji melalui riset.
Agie menambahkan, proses pemberian gelar kehormatan melibatkan banyak tahapan, dimulai dari usulan senat akademik universitas kepada pimpinan universitas. Uji kelayakan dilakukan oleh tim promotor yang dibentuk sesuai dengan bidang keilmuan calon penerima. Dalam uji kelayakan tersebut, rekam jejak prestasi dan kontribusi calon penerima menjadi fokus utama, memastikan bahwa gelar yang diberikan benar-benar layak.
“Proses ini sangat teliti dan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa penerima gelar HC memiliki reputasi baik dan kontribusi nyata yang telah diakui luas,” ungkap Agie.
Agie juga menyoroti pentingnya transparansi dalam proses pemberian gelar HC. Menurutnya, institusi pendidikan harus lebih berhati-hati agar gelar kehormatan ini tidak hanya sekadar formalitas. Dampak dari karya atau kontribusi calon penerima harus terbukti nyata dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Kampus perlu memastikan bahwa gelar HC tidak hanya diberikan berdasarkan popularitas, tetapi juga karena kontribusi yang substansial terhadap pengembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Ini penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas institusi pendidikan,” tegas Agie.
Kontroversi terkait pemberian gelar HC kepada tokoh-tokoh tertentu menggarisbawahi urgensi bagi institusi akademik untuk tetap berpegang pada aturan yang ketat dan menjaga standar tinggi dalam memberikan gelar kehormatan. Proses ini bukan hanya tentang penghargaan, tetapi juga tentang tanggung jawab moral untuk menghormati kontribusi yang berkelanjutan dan relevan bagi masyarakat. BP/CW1
Komentar