Jakarta, harianbatakpos.com – Pemerintah merencanakan perubahan besar dalam skema penyaluran subsidi bahan bakar minyak (BBM), dari subsidi langsung berbasis produk menjadi bantuan tunai langsung (BLT) kepada masyarakat. Perubahan ini, yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto hanya sepuluh hari usai dilantik, diharapkan dapat memastikan bahwa subsidi energi benar-benar menjangkau kalangan yang membutuhkan.
Dalam rapat terbatas bersama para menteri dan direktur utama badan usaha energi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan dua opsi yang tengah dikaji, salah satunya adalah BLT langsung. Bahlil menegaskan perubahan ini penting, mengingat subsidi BBM selama ini justru dinikmati oleh sebagian besar masyarakat menengah ke atas yang memiliki kendaraan pribadi.
Menurut Bahlil, opsi pemberian BLT kemungkinan besar akan diambil guna menghindari ketimpangan penyaluran subsidi yang terjadi selama ini. Dalam konferensi pers, Bahlil menyebut perubahan skema ini akan segera dirampungkan untuk dilaporkan kepada Presiden dalam waktu satu minggu.
Para ahli ekonomi, seperti Ronny P. Sasmita dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), menyebutkan bahwa penyaluran subsidi dalam bentuk BLT dan subsidi harga BBM adalah dua kebijakan yang berbeda. Menurutnya, peralihan subsidi ke bentuk BLT otomatis akan meningkatkan harga BBM sesuai harga keekonomian. Hal ini, kata Ronny, berpotensi mengurangi beban anggaran pemerintah, namun dampaknya bisa memberatkan masyarakat luas, terutama yang bergantung pada BBM untuk aktivitas harian.
“Subsidi langsung ke produk BBM berlaku secara umum dan menguntungkan semua kalangan. Namun, BLT yang ditargetkan hanya untuk masyarakat miskin mengakibatkan sebagian besar pengguna BBM kelas menengah ke atas tidak lagi menikmati subsidi,” jelas Ronny. Ia memperkirakan besaran BLT yang ideal untuk mengkompensasi kenaikan harga BBM berkisar antara Rp180 ribu hingga Rp250 ribu per bulan per orang.
Penerapan skema BLT untuk subsidi energi ini masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam penentuan data penerima manfaat. Pengamat menyoroti perlunya keakuratan data agar BLT benar-benar menyasar kalangan miskin dan rentan. Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai konversi subsidi ke BLT harus mampu mengakomodasi aspirasi kelas menengah rentan yang juga terdampak oleh pencabutan subsidi BBM.
Bhima juga mencatat pentingnya kesiapan infrastruktur digital. Untuk mengatasi kendala bagi masyarakat yang belum memiliki rekening bank, pemerintah bisa mendorong penggunaan nomor ponsel sebagai pengganti rekening bank, sehingga distribusi bantuan lebih cepat dan tepat sasaran. “Pengawasan berlapis akan sangat penting, agar tidak ada penyimpangan dalam penyaluran BLT,” tambah Bhima.
Selain dampak pada daya beli masyarakat, para pengamat menyoroti dampak pada pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang selama ini bergantung pada BBM bersubsidi. Jika tidak dikompensasi dengan baik, hal ini dapat menyebabkan peningkatan biaya operasional yang berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Bhima memperingatkan bahwa tanpa mekanisme yang matang, perubahan skema subsidi ini dapat memengaruhi konsumsi rumah tangga yang diprediksi tumbuh di bawah 4% tahun depan. “Konsultasi mendalam dengan sektor UMKM dan masyarakat rentan sangat penting sebelum keputusan ini benar-benar diterapkan,” pungkasnya.
Dengan pengubahan skema subsidi ini, pemerintah diharapkan mampu mengatasi masalah penyaluran yang selama ini tidak tepat sasaran, namun tetap menjaga stabilitas daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi.BP/CW1
Komentar