Rupiah ke Rp 15.000/US$, BI Harusnya Kerek Bunga 50 Bps

Jakarta-BP: Keputusan Bank Indonesia (BI) mengerek bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) dianggap tidak cukup efektif menarik aliran modal asing ke pasar keuangan Indonesia.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai bank sentral seharusnya bisa mengerek kenaikan bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) untuk lebih menarik minat modal asing singgah di pasar keuangan domestik.

"Kemarin saya bilang kenaikan harus 50 bps. Ini dalam rangka transaksi berjalan bisa lebih rendah," kata David, Selasa (2/10/2018).

David menjelaskan, nilai tukar rupiah memang sudah dalam trend melemah sejak era taper tantrum lantaran transaksi berjalan dalam tekanan karena kebutuhan valas yang cukup besar.

"Kita impor US$ 500 juta dolar per hari. Devisa hasil ekspor tidak bisa masuk semua hanya 85%. yang dikonversi sekitar 15%," jelasnya.

"Jadi ini suatu keniscayaan. Kebutuhan dolar besar, defisit besar, The Fed naikan bunga. [...] Sentimen ini yang bisa ganggu," katanya.

Menurut dia, penguatan rupiah yang terjadi sejak era taper tantrum bukan disebabkan karena peningkatan kinerja ekspor melainkan berharap dari aliran modal asing, baik itu di pasar saham maupun obligasi.

Praktis, ketika ketidakpastian ekonomi global memanas, Indonesia kesulitan mencari pendanaan untuk membiayai transaksi berjalan. Belum lagi, sifat aliran modal asing yang hanya jangka pendek.

"Sekarang kita masih melihat di luar. Perang dagang, kemarin sudah Turki, Argentina, sekarang Italia. Fed juga akan naikkan bunga. Kalau dia makin agresif tahun depan, itu akan membuat mata emerging market keluar," katanya.

"Dampaknya bagaimana? Aliran modal portofolio keluar, CAD tertekan. Padahal CAD harus ditutup sekitar 20% dari portofolio," jelasnya.

Transaksi berjalan menggambarkan devisa yang masuk ke sebuah negara dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bisa diandalkan karena relatif lebih bertahan lama (sustain) ketimbang hot money di pasar keuangan.

Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi indikator utama kekuatan nilai tukar suatu mata uang. Ketika investor melihat ada prospek transaksi berjalan Indonesia kembali defisit pada kuartal III-2018, maka nasib rupiah pun jadi sorotan.

Rupiah akan sulit menguat jika transaksi berjalan kembali defisit, sehingga tekanan jual akan melanda rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya kemungkinan besar akan turun?

(CnbcIndonesia) BP/SP

Penulis:

Baca Juga