Sarma Hutajulu, SH: Hak-hak Masyarakat Jangan Terpinggirkan

Medan-BP: Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara kembali menggelar Rapat kerja/dengar pendapat di Ruang Rapat Komisis A DPRD Sumut Jl. Imam Bonjol No. 5 Medan, Selasa (17/7/2018).
Rapat itu sebagai tindaklanjut aspirasi masyarakat terkait sengketa lahan seluas 500 hektar antara masyarakat adat Desa Sigapiton, Sibisa dan Motung sekitarnya dengan Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Danau Toba (BPOPDT) dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara serta kawasan lahan zona otoritatif Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir.
Rapat dipimpin langsung Wakil Ketua Komisi A DPRD Sumut Muhri Fauzi Hafiz dari Fraksi Demokrat bersama anggota Komisi A Sarma Hutajulu, SH (F-PDIP), Roni Reynaldo Situmorang (F-Demokrat), dr Poaradda Nababan, Sp.B, Ir. Ramses Simbolon, MSc beserta anggota lainnya dan juga dihadiri langsung oleh Bupati Toba Samosir Ir. Darwin Siagian, Dirut BPOPDT Ari Prasetyo bersama jajaran Direksi.
Kemudian Dinas Kehutanan Provsu diwakili Ependi Pane, S.Hut, MAP, Kepala KPHL Wilayah IV Tobasa Leo Sitorus, Camat Ajibata Drs. Tigor Sirait, Kepala Desa Sekawasan Kecamatan Ajibata, Aman Tano Batak, KSPPM Parapat, dan perwakilan masyarakat Marga Butarbutar Desa Sigapiton dan Sibisa sekitarnya.
Saat itu terungkap berbagai fakta bahwa adanya carut-marut persoalan lahan milik masyarakat adat sekitar yang telah ditetapkan pemerintah jadi lokasi pariwisata sesuai amanah Kepres No 49 Tahun 2016 tentang Pembentukan Badan Pengelola Otorita Pariwisata Danau Toba (BPOPDT) oleh Presiden RI.
Namun, belakangan ini masyarakat di kawasan Sibisa sekitarnya khususnya Marga Butarbutar Sigapiton mengalami keresahan setelah mengetahui bahwa lahan seluas 500 ha di kawasan Sibisa tersebut telah diserahkan oleh Pemkab Tobasa dan Dinas Kehutanan cq. Kemen LHK RI untuk dikelola BODT tanpa melibatkan masyarakat selaku pemilik tanah adat.
Padahal tanah tersebut merupakan tanah adat yang wariskan secara turun-temurun, meski sebelumnya pernah diserahkan kepada Dinas Kehutanan Provsu untuk direboisasi menjaga kelestarian lingkungan yang dikuatkan dengan bukti adanya surat penyerahan.
Mangatas Togi Butarbutar didampingi biro bantuan hukum DPD.
Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Sumut Ir. Pamostang Hutagalung dan Sudirman selaku perwakilan Masyarakat Adat marga Butarbutar Desa Sigapiton dari Keturunan Ompu Ondol Butarbutar dalam rapat meminta kepada Pemerintah untuk dapat mempertegas status tanah adat mereka seluas 120 hektar yang sudah selama berpuluh tahun mereka gunakan jadi sumber penghasilan lahan pertanian dan permukiman.
Dia menjelaskan bahwa keluarga besar suku/marga Butarbutar Keturunan Op. Ondol selaku pemilik tanah adat dari warisan leluhur seluas 120 ha di Kawasan Sibisa Dusun Sileang-leang Desa Sigapiton sudah sejak lama diperjuangkan pengembalian dan pelepasannya dari kawasan hutan kepada Pemerintah Kabupaten Tobasa, Gubernur dalam hal ini melalui Dinas Kehutanan dan Kementerian LHK, namun sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.
“Melalui rapat yang difasilitasi oleh Komisi A DPRD Provsu ini, kami minta ada kejelasan status pengembalian tanah adat kami kepada pemerintah, sebab jauh-jauh hari sebelum lahir BODT tanah adat kami seluas 120 hektar masuk kedalam zona pengelolaan BODT tersebut telah kami mohonkan pengembaliannya kepada pemeritah lewat mekanisme dan aturan yang berlaku di negeri ini, namun sampai detik ini belum ada penyelesaiannya,” ungkap Togi.
Lebih lanjut Togi mengatakan, sejak dilakukan sosialisasi pihaknya dari keturunan Marga Butarbutar Sigapiton tidak menolak kehadiran BPODT. Mereka sangat mendukung program pembangunan yang akan dilakukan pemerintah pusat melalui BODT.
Tetapi, janganlah tanah milik mereka dirampas begitu saja. Mengenai penggunaan tanah adat untuk lokasi wisata diharapkan harus ada suatu kesepakatan bersama dengan pemerintah melalui pihak BODT.
“Kami jangan dijadikan hanya sebatas penonton pembangunan diatas tanah kami sendiri. Hak pengelolaan atas tanah ulayat kami harus dilindungi demi masa depan para generasi/keturunan kami dikemudian hari,” jelasnya.
Hak-hak Masyarakat Lokal Jangan Hilang
Disela-sela rapat, Anggota Komisi A DPRD Sumut Sarma Hutajulu dan Reynaldo Situmorang dengan tegas meminta kepada pihak Kehutanan Provinsi, Bupati Tobasa dan Para Direksi BPODT agar bisa serius menyikapi dan mencari solusi yang terbaik terkait tuntutan masyarakat adat marga Butarbutar dan Sibisa sekitarnya untuk pengembalian tanah adatnya.
“Tuntutan mereka masih hal yang wajar. Sebab, jangan hanya gara-gara demi pembangunan kawasan pariwisata yang datangnya dari pusat sana, hak-hak masyarakat lokal selaku pemilik tanah jadi hilang dan terpinggirkan” tegas Sarma Hutajulu.
Komisi A DPRD Sumut mengharapkan pertemuan ini dilakukan dalam rangka mencari solusi terhadap dampak atas kehadiran BODT terhadap masyarakat sekitar kawasan.
Para wakil rakyat ini menilai apa yang menjadi keluhan masyarakat di Sibisa sekitarnya diharapkan baik dari Pemerintah maupun BODT sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat jangan menganggab anggap aneh apa yang menjadi tuntutan masyarakat saat ini.
Ini kan, hal yang wajar, ada program pembangunan, kalau pun itu satu sisi pantas kita syukuri, tapi di sisi lain kita juga perlu kritisi. Karena, pembangunan yang datang kekawasan Danau Toba pasti punya dampak, pasti itu!
Kenapa masyarakat sampai hari ini masih ada konflik dengan BODT dan Kehutanan, saya kira itu wajar karena ini, kan, masalah dari dulu sampai sekarang soal SK Menhut 579 /2014. Dimana penunjukan kawasan hutan memang dari dulu hingga detik ini masih bermasalah dengan masyarakat,” ujar Sarma Hutajulu.
Lebih lanjut anggota Dewan dari Fraksi PDIP ini memaparkan, masalah antara masyarakat dengan kehutanan belum selesai, kehutanan telah menyerahkan tanah ke BODT.
Dimana masyarakat sudah puluhan tahun menuntut lahannya untuk dikeluarkan dari kawasan hutan tidak bisa dengan alasan kawasan hutan lindung. Tetapi untuk program pembangunan kenapa bisa cepat dari hutan lindung dirubah kehutan produksi/konversi ke APL?.
Saya kira kalau masyarakat mengkritisi ini tak perlu kita langsung alergi, karena memang pertanyaan-pertanyaan itu wajar. Kenapa lahan untuk masyarakat sebegitu sulit pihak kehutanan untuk merobah hutan lindung menjadi APL?
Kenapa untuk yang lain begitu cepat dilakukan seperti BODT? Sudah banyak contoh, seperti di Pintu Pohan yang dijadikan pengusaha lahan sawit.
Ketika masyarakat mengelola lahan yang nota bene kawasan hutan langsung ditangkap dan diproses dengan memakai undang-undang kehutanan. Tapi si pengusaha ketika mengubah lahan kawasan jadi perkebunan itu tidak pernah dipenjarakan.
Ini tidak adil. Jadi, hal wajar-wajar saja Pak Ari masyarakat bertanya. Karena ini memang program pembangunan yang datangnya dari atas yang tak pernah melibatkan masyarakat untuk membicarakan rencana pembangunan ini.
Ujuk-ujuk masyarakat hanya jadi objek penerima, tidak pernah jadi subjek.
Menanggapi hal itu, Bupati Toba Samosir Ir Darwin Siagian mengatakan pihaknya saat ini telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Tanah Adat di Kabupaten Tobasa, namun Perda dimaksud saat ini sedang dalam proses eksaminasi di Biro Hukum Pemprovsu.
“Kami dari Pemerintah Daerah bersama DPRD Kabupaten Toba Samosir sudah menerbitkan Perda Tanah Adat. Saat ini sedang dalam proses eksaminasi di Biro Hukum Provinsi Sumut.
Untuk itu kami berharap agar Komisi A DPRD Sumut dapat membantu supaya prosesnya dipercepat. Karena Perda ini sama-sama kita harapkan nantinya dapat menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan segala persoalan tanah adat yang terjadi saat ini khususnya di daerah Pemkab Tobasa,” jelas Darwin.
Sementara itu, Direktur BPODT Ari Parsetyo usai menyampaikan paparannya dalam rapat meminta arahan dan petunjuk dari Anggota DPRD Sumut agar dapat membantu meberikan solusi terkait penyelesaian persoalan legalitas lahan zona otoritatif kawasan pariwisata Sibisa sekitarnya. (BP-EI/Rel)
Komentar