Tingginya Cost Politik Faktor Banyaknya KDh Dibui
Medan-BP: Pakar Sosiolog USU DR Robert Tua Siregar MA, PhD berpendapat, banyaknya Kepala Daerah (KDh) dibui alias masuk penjara akibat tingginya biaya (cost) politik untuk meraih kekuasaan tersebut.
Demikian ditegaskan kepada harianbatakpos Sabtu(7/7) ketika diminta tanggapannya soal semakin banyaknya KDh terlibat korupsi, kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan masuk penjara akhir-akhir ini.
Menurut DR Robert, jumlah KDh baik Gubrrnur, Bupati maupun Walikota semakin bertambah masuk penjara bukan lagi hal yang tabu tapi seperti sudah menjadi rahasia umum atau hal yang biasa.
"Banyak KDh maupun pejabat penting di negeri ini masuk penjara bagai tidak merasa tabu lagi. Bahkan seolah bagai suatu kebanggaan tersendiri buat mereka," ujar Rober Tua.
Disebutkan, tapi apapun alasanya, sepanjang mahalnya biaya politik mulai proses pencalonan hingga mendapatkan kursi KDh, praktik korupsi itu sepertinya tidak terelakkan.
Mkenapa tidak, karena biaya administrasi untuk menjadi calon saja sudah berat. Sebab untuk mendapatkan perahu (partai pengusung), dukungan partai saja sulitnya bukan main.
Belum lagi untuk biaya kampanye, bentuk posko, biaya Tim Sukses, Relawan, cetak kaos, balihou , bayar saksi, biaya buat spanduk dan lainnya.
"Ini kan semuanya butuh biaya yang cukup besar," ujarnya.
Tentu berbagai cara akan mereka lakukan untuk mengembalikan modal atau kerugian tersebut. Belum lagi desakan atau tuntutan orang-orang dekatnya yang macam-macam.
"Yah pokoknya repotlah urusannya bila kelak terpilih jadi KDh," ujar Robert.
Ditegaskan, bila ditelusuri secara cermat mulai awal proses pencalonan hingga terpilih jadi KDh sudah diawali dengan perjuangan para timses dan besarnya “cost politik” yang di keluarkannya sangat luar biasa.
Dengan kondisi ini dapat kita lihat secara rasional bahwa seorang KDH yang terpilih harus memberikan balas budi kepada timses sebagai imbalan jasa kerja baik secara materi ataupun dalam bentuk lainnya.
Dengan demikian KDH bersangkutanpun banyak terperangkap dalam kebutuhan “balas budi”, dan dengan perilaku dan tingkat latar belakang timses yg berbeda.
Sehingga mengakibatkan KDh terikut sistem yg dibuat oleh timses, hal ini membuka peluang perlakuan OTT. Dengan “cost politik” yg di keluarkan cukup besar, maka secara ekonomi hal ini harus dikembalikan secepatnya dengan istilah “kejar setoran” maka tindakan OTT semakin rentan.
Maka untuk mengantisipasi hal trrsebut harus merubah sistem penjaringan yang selektif dengan biaya murah dan mudah yakni adanya semacam seleksi yakni pendukung secara politis, tanpa mahar politik dari partai, adanya parameter kekayaan calon untuk bisa dicalonkan.
Dengan sistim seperti ini, diyakini tingkat korupsi di kalangan KDh dapat teriliminasi dengan baik. Dengan hal ini diharapkan secara etika dan economic memberi proteksi bagi calon KDh, tegas Rober Tua Siregar. (BP/RD)
Komentar