Tren “Hubungan Standar TikTok” Mengubah Persepsi Cinta di Era Digital

Tren "Hubungan Standar TikTok" Mengubah Persepsi Cinta di Era Digital
Tren "Hubungan Standar TikTok" Mengubah Persepsi Cinta di Era Digital

Medan, HarianBatakpos.com - Tren "hubungan standar TikTok" yang menonjolkan kencan di tempat mahal dan keromantisan lainnya melalui video estetik telah menjadi fenomena besar di media sosial. Banyak orang mulai mempertanyakan, apakah hubungan kita harus mengikuti standar yang ada di media sosial seperti yang ditampilkan oleh influencer TikTok?

Belakangan ini, tren konten pasangan ideal yang sering muncul di FYP (For Your Page) TikTok dan Instagram kerap membuat kita berpikir tentang hubungan romantis ideal.

Konten ini tidak hanya dibuat oleh pasangan yang ingin berbagi cerita cinta, tetapi juga oleh influencer yang memberi tips tentang hubungan yang seolah-olah diyakini sebagai standar yang paling benar.

Mulai dari "bare minimum relationships", tanda pasangan serius atau tidak, hingga pandangan tentang pernikahan yang kini dianggap "menakutkan".

Bahkan, tren ini melibatkan berbagai prank yang dinilai dapat mengukur sejauh mana seorang pasangan berkomitmen. Salah satu yang terkenal adalah tes "Apakah saya matre?" untuk menguji apakah pasangan pelit atau tidak. Selain itu, ada juga teori "orange peel" yang menguji pasangan dengan meminta mereka mengupaskan jeruk sebagai tanda sayang.

Konten Influencer Membentuk Hubungan Menjadi Konsumtif

Influencer pasangan sering kali memanfaatkan hubungan mereka sebagai bahan konsumsi publik. Demi mendapatkan perhatian lebih, mereka rela berbagi video di tempat-tempat romantis, berfoto di liburan mewah, nongkrong di kafe mahal, hingga makan malam yang estetik, semua demi konten. Hal ini menjadikan hubungan seolah-olah menjadi konsumtif, dan tanpa disadari, kita terus mengeluarkan uang hanya untuk mengikuti tren ini demi memperoleh like dan share.

Tak hanya influencer yang diuntungkan dari fenomena ini, platform media sosial seperti TikTok dan Instagram juga memperoleh keuntungan besar dari tren ini. Kita bisa merasa lelah, melihat bagaimana cinta yang dulu penuh makna kini seolah-olah hanya menjadi alat untuk meraih validasi sosial.

Standar Hubungan yang Berevolusi di Era Digital

Pernikahan dan hubungan romantis kini mengalami perubahan signifikan.

Beberapa dekade lalu, ekspektasi cinta banyak berkisar pada kesetiaan dan kenyamanan finansial. Namun, dengan hadirnya media sosial, standar ini berubah drastis.

TikTok, Instagram, dan platform serupa memainkan peran penting dalam menciptakan pandangan baru tentang hubungan ideal, khususnya di kalangan generasi Z.

Istilah-istilah baru seperti "situationships", "breadcrumbing", hingga "cushioning" kini populer dalam percakapan sehari-hari.

"Situationships" merujuk pada hubungan romantis tanpa status atau komitmen jelas, sementara "breadcrumbing" menggambarkan sikap seseorang yang berpura-pura menunjukkan ketertarikan namun menghilang begitu saja.

"Cushioning" pun menjadi tren di mana seseorang menjalani hubungan dengan lebih dari satu orang sekaligus sebagai "cadangan" jika hubungan utama tidak berjalan lancar.

Meningkatkan Ekspektasi dalam Hubungan

Ekspektasi tinggi terhadap pasangan kini lebih sering muncul akibat tren di media sosial yang mendorong kita untuk memiliki pasangan yang "sempurna" di mata publik.

Penelitian yang dilakukan oleh psikolog Sivan George-Levi pada tahun 2014 menunjukkan bahwa ekspektasi yang berlebihan terhadap pasangan justru dapat mengurangi kepuasan dalam hubungan.

Pasangan sering kali dianggap sebagai pemenuhan segala kebutuhan emosional dan finansial, yang menciptakan ketergantungan yang tidak sehat.

Realitas Cinta di Era Media Sosial

Media sosial mengubah cara kita melihat hubungan dan menciptakan standar yang mungkin tidak realistis.

Pasangan yang tampak harmonis di TikTok, selalu memberi kejutan romantis, dan menghindari konflik, sering kali menjadi model yang tidak sesuai dengan realitas.

Hal ini menambah tekanan pada individu untuk membentuk hubungan yang "flawless", padahal hubungan yang sehat justru dibangun dari komunikasi yang terbuka dan saling menghargai.

Memang, mengikuti tren date ideas atau membuat konten bersama pasangan bisa memberikan kebahagiaan dan inspirasi baru dalam hubungan.

Namun, hal ini hanya sehat jika dilakukan dengan niat yang tulus dan bukan untuk sekadar mendapatkan perhatian dari publik.

Jangan sampai obsesi untuk menciptakan momen yang "sempurna" di media sosial justru mengorbankan koneksi emosional yang seharusnya lebih penting.

Kesimpulan: Hubungan yang Sehat di Era Digital

Sebelum membandingkan hubungan kita dengan pasangan yang ada di media sosial, penting untuk bertanya pada diri sendiri: apakah hubungan tersebut realistis? Apakah ini baik untuk kita dan pasangan? Cinta di era digital memang lebih kompleks, namun hubungan yang sehat tetap dibangun dari komunikasi yang jelas, rasa saling menghargai, dan koneksi emosional yang mendalam.

Pada akhirnya, hubungan yang ideal tidak diukur berdasarkan jumlah likes atau foto estetik di media sosial, melainkan oleh kedalaman hubungan yang nyata antara dua individu.

Penulis: Affif Dwi As'ari

Baca Juga