Trump Menjengkelkan, Tetapi Trump Membawa Kemakmuran

Jakarta-BP: Sejak 2016, warna perekonomian global berubah. Perekonomian dunia menjadi begitu dinamis, menegangkan, dan penuh tantangan.
Apa sebabnya? Donald John Trump.
Presiden Amerika Serikat (AS) ke-45 ini benar-benar mengubah dunia, dari sisi politik maupun ekonomi. Terpilihnya Trump sebagai orang nomor 1 di Negeri Adidaya membuat banyak pihak tercengang.
Trump yang punya latar belakang pengusaha, utamanya di bidang properti, minim pengalaman di bidang politik meski dia memang sudah lama menjadi simpatisan Partai Republik. Trump punya sifat apa adanya. Blak-blakan. Apa yang dirasakannya langsung diutarakan tanpa tedeng aling-aling. Sesuatu yang agak berbahaya kalau dia menduduki jabatan orang paling penting di dunia.
Semasa kampanye, Trump menyuarakan kebijakan populis yang dibungkus dengan jargon America First. Kepentingan Negeri Paman Sam di atas segalanya, menjadi prioritas utama.
Trump melihat AS sudah kehilangan taringnya, mudah dipermainkan oleh negara-negara lain, akibatnya adalah perekonomian yang kurang trengginas. Trump juga menilai AS darurat industri dan penciptaan lapangan kerja.
Eks pembawa acara reality show The Apprentice itu ingin menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja melalui pembukaan berbagai industri. Make America Great Again, membuat AS kembali digdaya.
Jargon-jargon populis itu termakan oleh publik AS. Dalam pemilu yang sengit, akhirnya Trump terpilih menjadi pengganti Barack Obama setelah mengalahkan Hillary Clinton yang dicalonkan Partai Demokrat.
Begitu terpilih, Trump tidak melupakan janji-janji kampanyenya. Seolah menghalalkan segala cara, Trump mencoba membangun perekonomian AS.
Sifat Trump tidak berubah meski sudah berkantor di Oval Office, Gedung Putih. Tetap blak-blakan, hajar kiri-kanan, berkoar sembarangan tanpa saringan (terutama melalui cuitan di twitter). Agak berbeda 180 derajat dengan pendahulunya yang dikenal ramah dan santun.
Akibat sifat itu, Trump pun seolah menjadi musuh dunia. Sepertinya tidak ada pemimpin negara lain yang bisa nyaman dengan laki-laki berwajah oranye ini. Kalau berada di dekat Trump, emosi memang bisa memuncak.
Trump memang menyebalkan. Namun, sejatinya dia tahu apa yang dia lakukan. This man knows what he's doing.
Dia tahu bahwa AS adalah negara besar, perekonomian nomor 1 di dunia. AS punya posisi tawar yang tinggi, dan dia memanfaatkan itu untuk kepentingan negaranya.
Sejauh ini, slogan America First benar-benar dipegang teguh oleh Trump. Di bidang ekonomi, Trump seolah membawa kembali tren proteksionisme masa lalu.
Ini dilakukan dengan pertimbangan barang impor yang mengalir deras sehingga mematikan industri dalam negeri. Saat mewarisi pemerintahan pada awal 2017, AS mengalami defisit neraca perdagangan mencapai US$ 46,13 miliar.
Trump tahu bahwa defisit perdagangan AS yang terus membengkak tidaklah sehat. Industri dalam negeri akan mati jika produk impor membanjiri pasar dalam negeri.
Caranya adalah membuat disinsentif untuk impor yaitu mengenakan bea masuk. Sasaran utama Trump adalah China, negara yang paling banyak memasok barang ke AS. Namun kadang negara lain pun jadi korban seperti Meksiko, Kanada, sampai Uni Eropa. Semuanya adalah sekutu AS. Soal America First, Trump memang tidak mau kompromi.
Perlahan, defisit perdagangan AS mulai menipis. Walau masih relatif tinggi, tetapi ada tendensi ke arah perbaikan.
Satu-satunya cara untuk menghindari bea masuk adalah membangun pabrik di AS. Itulah harapan Trump. Dia ingin negara-negara lain berinvestasi ke AS dan membuka lapangan kerja.
Mungkin gertakan Trump sudah membawa hasil. Angka pengangguran AS terus turun, per 31 Juli 2018 tercatat 3,9%. Terendah sejak awal 1970!
Trump juga menggunakan ancaman bea masuk untuk negosiasi dagang. Ingat saat Trump mengenakan bea masuk untuk baja dan aluminium dari Uni Eropa? Kebijakan itu membuat Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, datang ke Washington untuk bernegosiasi.
Hasilnya memuaskan. Benua Biru berjanji untuk meningkatkan pembelian produk-produk AS seperti gas alam cair (LNG) sampai kedelai dengan janji bea masuk tidak jadi diterapkan. Trump berhasil membuat Uni Eropa menuruti kepentingan AS.
Sebagai Negeri Adidaya, posisi dan daya tawar AS memang tinggi. Trump tahu itu, dan dia memanfaatkannya demi kepentingan AS meski dalam prosesnya melibatkan metode 'injak kaki'.
Meski Trump galak terhadap pihak luar, tetapi dia sepertinya sayang kepada warganya. Hal ini ditunjukkan dengan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh).
Sebelumnya, tarif PPh orang pribadi di AS adalah 10%, 15%, 25%, 28%, 33%, 35%, dan 39,6%. Trump menurunkannya menjadi 10%, 12%, 22%, 24%, 32%, 35%, dan 37%. Sementara untuk PPh badan diturunkan dari 35% menjadi 35%.
Penurunan tarif PPh membuat korporasi AS semakin bersemangat untuk ekspansi. Buktinya adalah Puchasing Managers Index (PMI) yang terus meningkat, gambaran bahwa dunia usaha sedang bergairah.
Penurunan tarif pajak tidak hanya berguna untuk ekspansi perusahaan. Sebagian korporasi mengembalikannya kepada para karyawan dalam bentuk bonus. Ini menyebabkan konsumen pun bersemangat.
Tingginya konsumsi tercermin dari laju inflasi yang semakin cepat. Pada Juli 2018, inflasi AS tercatat 2,4% secara year-on-year (YoY). Ini merupakan laju tercepat sejak Oktober 2008.
Resultan dari geliat ekonomi di AS tentu adalah pertumbuhan ekonomi. Pada era Trump, Negeri Paman Sam mencapai pertumbuhan ekonomi yang ciamik.
Pada kuartal II-2018, pertumbuhan ekonomi AS mencapai 4,1% YoY. Laju ini merupakan yang tercepat sejak 2014.
Namun, kebijakan populis a la Trump bukan tanpa risiko. Dalam jangka panjang, kebijakan ini justru mendatangkan banyak mudarat kepada AS.
Pertama, kebijakan bea masuk yang sporadis yang menyasar ratusan atau bahkan ribuan produk mungkin saat ini berdampak positif. Impor AS berkurang dan mata uang dolar AS kian perkasa.
Akan tetapi, bagaimanapun dunia sudah saling terhubung. Tidak mungkin AS bisa terus-terusan subsisten alias biasa memenuhi kebutuhannya sendiri. Pasti butuh produk-produk yang harus diimpor, terutama bahan baku.
Akibat pengenaan bea masuk, proses importasi menjadi memakan lebih banyak biaya. Dunia usaha yang membayar lebih mahal untuk mendatangkan barang dari luar negeri akan meneruskan beban ini kepada konsumen. Hasilnya adalah inflasi, monster jahat yang menggerogoti daya beli masyarakat.
Laju inflasi yang terakselerasi memang menunjukkan geliat ekonomi. Namun kalau terlalu tinggi juga tidak sehat.
The Federal Reserve/The Fed, Bank Sentral AS, menetapkan target inflasi di kisaran 2% dalam jangka menengah. Inflasi di level tersebut dinilai ideal, sehat bagi perekonomian AS.
Kini target itu sudah tercapai, dan bukan tidak mungkin inflasi akan terus melaju dan jauh melampaui target tersebut. Artinya inflasi menuju ke arah yang sudah tidak sehat.
Risiko kedua adalah insentif pajak yang diberikan Trump dibarengi dengan tambahan belanja, utamanya untuk infrastruktur. Ini bisa jadi bom waktu dalam jangka menengah dan panjang. Defisit fiskal AS pun berpotensi membengkak.
Badan Anggaran Kongres AS memperkirakan defisit anggaran negara pada 2019 sebesar US$ 3,49 triliun. Setahun kemudian, defisit diperkirakan membengkak menjadi US$ 3,68 triliun.
Situasi ini tentu mengharuskan pemerintah AS berutang lebih banyak untuk tutup defisit anggaran. Seperti hukum pasar, ketika pasokan suatu barang bertambah maka harganya cenderung turun. Itulah yang mungkin akan terjadi terhadap obligasi pemerintah AS. Harganya semakin turun dan imbal hasil (yield) terkerek ke atas.
Pemerintah AS nantinya harus memberi pemanis bagi investor yang ingin membeli obligasi murahan ini, yaitu dengan memberikan imbalan tinggi. Hasilnya adalah beban fiskal akan semakin berat karena biaya penerbitan obligasi meningkat.
Sekarang (atau beberapa waktu ke depan) Trump mungkin masih menikmati masa panen dari berbagai kebijakannya. Namun ke depan, berbagai kebijakan itu berpotensi menjadi bumerang yang akan menyerangnya. (CNBC/JP)
Komentar