Literasi AI: Kunci atau Hambatan bagi Inovasi Pendidikan?

Medan, HarianBatakpos.com - Dunia pendidikan selalu penuh kejutan. Saat kita mengira pemahaman teknologi adalah kunci utama transformasi digital pendidikan, sebuah penelitian di Journal of Marketing mengungkap paradoks yang menggelisahkan: semakin tinggi pemahaman seseorang tentang AI, semakin rendah keinginannya untuk mengadopsi teknologi ini. Fenomena ini menantang banyak asumsi kita tentang inovasi pendidikan.
Ketika kebijakan pendidikan nasional gencar mendorong integrasi AI, temuan ini memaksa kita bertanya: apakah kita telah keliru dalam strategi transformasi digital pendidikan? Jika pemahaman menciptakan resistensi, bagaimana kita harus mempersiapkan pendidik dan peserta didik menghadapi era AI?
Para peneliti menemukan pola menarik: resistensi terhadap AI paling kuat dalam tugas yang membutuhkan kualitas manusiawi, seperti konseling. Mereka yang memahami cara kerja AI justru lebih skeptis terhadap kemampuannya. Sebaliknya, untuk tugas teknis, pemahaman teknologi mendorong adopsi, dilansir dari kumparan.com.
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara tentang "neng-ning-nung-nang" menawarkan kerangka berpikir yang relevan. Kita perlu momen hening untuk refleksi mendalam tentang peran teknologi. Kejernihan pikiran untuk memahami batas antara apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan AI. Dan keteguhan dalam mengimplementasikan teknologi secara bijak.
Sistem pendidikan kita perlu mengembangkan pendekatan baru dalam literasi AI. Bukan sekadar pelatihan teknis, tetapi pemahaman holistik yang mencakup aspek filosofis, etis, dan sosial. Ini berarti mengintegrasikan diskusi etis dan refleksi kritis dalam setiap tahap pembelajaran teknologi.
Kurikulum literasi AI perlu dirancang ulang. Alih-alih menghilangkan unsur "keajaiban," kita harus membangun pemahaman yang lebih bijak. Program pengembangan guru perlu dievaluasi agar lebih banyak ruang untuk dialog tentang implikasi AI. Kesadaran bahwa adopsi teknologi tidak harus linear sangat penting.
Di tengah gelombang disrupsi teknologi yang tak terbendung, kebijaksanaan tradisional bisa menjadi kompas kita. Seperti kata pepatah Jawa: "alon-alon waton kelakon" - pelan-pelan asal selamat. Dalam pendidikan, kualitas transformasi lebih penting dari kecepatannya.
Komentar