Mengenal Tanamur, Diskotek Pertama di Jakarta Milik Pengusaha Arab Suami Ratna Sarumpaet

Ahmad Fahmi Alhady (paling depan), pendiri diskotek pertama di Indonesia. (Dok: W Wanhar)

Jakarta-BP: Tanamur adalah diskotek pertama di Jakarta. Berdiri pada 12 November 1970 silam. Pemiliknya Ahmad Fahmy Alhady, anak saudagar Arab, juragan tekstil Tanah Abang.

Gubernur DKI Jakarta waktu itu dijabat Ali Sadikin. Keran investasi sedang dibuka seluas-luasnya. Tempat hiburan malam menjamur.

Ia mengizinkan pembukaan tempat perjudian, night club dan panti pijat. Kata Bang Ali, hiburan malam merupakan syarat dan keharusan Jakarta untuk menjadi sebuah kota metropolitan.

“Tentu saja sebelum surat izinnya diteken Gubernur Haji Ali Sadikin, lokasinya ditilik-tilik dulu sesuai apa tidak dengan prinsip, jauh dari sekolah, tempat ibadah dan rumah kediaman,” tulis Tempo, 14 Februari 1976.

Beberapa night club yang cukup terkenal di Jakarta ketika itu, antara lain, La Cossa Cossyndo. Biasa disebut LCC. Lokasinya di sekitar Monas sekarang.

Adapula Miraca Night Club di Sarinah, Thamrin, yang dikelola Usmar Ismail, sineas terkemuka Indonesia. Masa itu, orang-orang menjuluki Usmar Ismail sebagai Raja Night Club.

Setelah Miraca tutup pada 1970-an awal, “posisi” Usmar Ismail digantikan Ahmad Fahmy Alhady yang mendirikan diskotek Tanamur, 12 November 1970.

Dengan konsep diskotek, lain dengan night club atau bar, Fahmy, anak saudagar Arab jugaran tekstil Tanah Abang berhasil merajai hiburan malam Jakarta.

Ini kisahnya.

Tanamur didirikan oleh Ahmad Fahmy Alhady, ayah artis Atiqah Hasiholan.

Alasan pria yang pernah jadi suami Ratna Sarumpaet ini membuka diskotek sederhana saja.

“Sudah terlalu banjak night club di Djakarta. Tapi semuanja terlalu formil. Tidak ada suasana bersantai. Perlu didirikan sesuatu jang lain jang dapat memberikan suasana merdeka, sehingga orang dapat beristirahat,” katanya, tulis majalah Tempo, 20 Maret 1971.

Jangan samakan dengan sekarang. Waktu itu diskotek masih hal baru. Bahkan kata diskotek sendiri belum banyak dikenal orang.

“Seorang pejabat provinsi Jakarta bahkan menanyakan perihal kata itu ketika Fahmy meminta izin pendirian diskoteknya,” tulis sejarawan Hendaru Tri Hanggoro di majalah Historia, No 2, Tahun I, 2012.

Lelaki brewokan itu menyulap sebuah rumah tua di Jl. Tanah Abang Timur No. 14 menjadi diskotek — konsep tempat hiburan yang dibawanya dari Eropa.

Mulanya bangunan itu hanyalah rumah tua biasa. Atapnya berbentuk segitiga. Tepat di sebelahnya terdapat sebuah kubah besar berbentuk setengah lingkaran — membuat Tanamur terlihat seperti penggabungan dari bangunan masjid dan gereja.

Bangunan itu bercat hitam. Ada pohon kaktus besar di pekarangannya. Pintu bercorak klasik warna merah.

Begitu masuk menuruni anak tangga, terhampar lantai dansa berikut sebuah bar yang terbuat dari kayu. Bangku-bangku berbantal kulit kambing.

“Suasana di dalam ruangan adalah tjampuran kedai kopi di djaman tiga musketir dan cafe daerah Wild West. Di podjok berdiri sebuah kerangkeng besi untuk a gogo girl.”Inilah Tanamur, sederhana dan bebas”, kata Ahmad Fahmy,” tulis majalah Tempo, 20 Maret 1971.

Konsep interior dan tata ruang Tanamur sengaja dibuat terkesan berserakan.

Tiang-tiang penyangganya dari kayu jati kusam. Cahaya dibuat temaram. Beberapa roda pedati menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada lukisan batik dalam ukuran cukup besar.

Kepala rusa, kulit sapi dan kulit kambing membentang di beberapa bagian dinding yang dicat warna-warni.

Hendaru menceritakan, bangku-bangku hanya ada di tepian. Bagian tengah dikhususkan untuk lantai dansa.

Di bagian lantai dansa, ada tiang listrik lengkap dengan lilitan kabel. Serta kerangkeng besi untuk agogo girl bergoyang.

Dekorasi Tanamur dirancang sendiri oleh Fahmy. Dia tak butuh interior yang mewah.

“Saya ingin memberikan porsi kepada pengunjung untuk merasa besar dan hadir di tempat ini secara utuh. Kalau semuanya serba mewah, pengunjung akan merasa kecil,” kata Fahmy, sebagaimana dilansir dari Dansa, Yuk, Dansa.

Pengunjung Tanamur kebanyakan bule. Di sana, tak ada band. Yang ada hanja seorang disc jockey (DJ) dengan ratusan piringan hitam di sampingnya.

“Yang cukup terkenal di Tanamur DJ Vincent. Dia orang Maluku. Suatu waktu DJ Vincent ke London. Ternyata ada orang yang mengenalinya. Orang itu mengaku sering ke Tanamur kalau ke Jakarta. Malam harinya dia mengajak Vincent ke diskotek, dan diberi kehormatan nge-DJ di sana,” papar Hendaru.

Modal Awal

Diskotek ini dibuka Fahmy dengan modal awal Rp20 juta.

Jadi, Fahmy ini tadinya sekolah Teknik Industri di Jerman. Di lobi apartemen tempat dia tinggal ada klub malam.

“Saat waktu kosong, Fahmy berkunjung ke klub tersebut,” tulis Enrico Yoland, mahasiswa Ilmu Sejarah UI, dalam skripsi berjudul Perkembangan Diskotik Tanamur Di Jakarta (1970-2005).

Dalam perkembangannya, dia juga suka pelesir ke berbagai klub malam di Eropa.

Pendek kisah, pemuda keturunan Arab itu putus kuliah. Sekaligus memutuskan pulang kampung ke Indonesia dan mendirikan diskotek.

Keluarga Fahmy sempat menentang rencana tersebut. “Maklum, Arab kan identik dengan Islam. Masa iya bikin usaha hiburan malam,” tutur Hendaru, sejarawan yang juga berdarah Arab.

Karena hasratnya yang kuat, pendek kisah Fahmy pun berhasil meyakinkan keluarganya. Berbekal modal Rp 20 juta, dia mencetak sejarah; mendirikan diskotek pertama di Jakarta, dan juga pertama di Asia.

Diskotek itu dia beri nama Tanamur, akronim dari Tanah Abang Timur.

“Dalam usaha mendirikan Diskotek Tanamur, Fahmy dibantu oleh dua orang kongsinya yang kebetulan masih saudara. Yaitu Pak Kadim dan Pak Anis, pemilik bangunan yang kemudian jadi Tanamur,” ungkap Enrico.

Harga Tiket & Hostes

Sejak awal buka pada 12 November 1970, Tanamur tak banyak aturan. Semua orang bisa masuk. Bahkan yang bersandal jepit sekali pun.

“Tanamur biasanya buka pukul 19.00 WIB dan akan mulai ramai dipadati pengunjung pada pukul 21.00 WIB,” kata Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1970-an, yang kerap datang ke Tanamur.

Mulanya, diskotek pertama di Jakarta, yang juga pertama di Asia ini tidak mengenakan cover charge atau tiket masuk kepada pengunjungnya.

Namun, dalam perkembangannya, Ahmad Fahmy Alhady — si empunya tempat — memberlakukan aturan baru.

Majalah Tempo 27 Maret 1971 menulis, cover charge Tanamur 600 rupiah. Lalu naik lagi. Hari biasa Rp1.000 dan Rp1.250 pada malam Sabtu dan malam Minggu

“Ini angka yang lumayan besar pada masa itu,” ungkap Firman, sebagaimana di tulis Enrico Yoland, dalam skripsinya.

Tak ayal jika kemudian hari pengunjung Tanamur didominasi kelas menengah dan 60 persen pengunjung adalah ekspatriat–orang asing yang bertugas di Indonesia.

Hendaru mengisahkan, konsep Tanamur berbeda dengan club malam yang kala itu mulai menjamur di Ibukota.

Tanamur tidak menyediakan hostes dan penari telanjang.

“Kalau di night club, pengunjung berpakaian rapi itu duduk manis menyaksikan penari. Kalau di Tanamur, pengunjung yang menari,” tuturnya kepada JPNN.com.

Itu tak berlangsung lama. Tanamur lagi-lagi mengubah aturan. “Di sini orang-orang sudah hostes minded. Selalu para tamu menanjakan hostes, karena itulah kami terpaksa menjediakan djuga.Sekarang di Tanamur ada empat hostes,” kata Fahmy, dimuat Tempo, 27 Maret 1971.”Ke depan akan terus kami tambah,” sambungnya.

Dari Mulut Ke Mulut

Karena tuah cerita dari mulut ke mulut, keberadaan diskotek pertama di Jakarta ini mulai diketahui. Disambangi. Kian hari kian ramai. Dan pada masa jaya-jayanya, Tanamur yang berkapasitas 800 orang, nyaris tiap malam didatangi seribuan pengunjung.

Padahal, hari-hari pertama buka lapak, hanya beberapa orang saja yang mencoba datang ke Tanamur.

Bahkan kalau mau jujur-jujuran, pernah suatu hari, Tanamur hanya kedatangan seorang pengunjung. Kebetulan ia warga negara asing.

“Fahmy tidak mendiamkannya begitu saja,” kenang Vincent, DJ legendaris Tanamur. “Beliau menjamu tamunya dengan baik dengan menemani tamunya itu dari awal datang sampai tamu tersebut meninggalkan Tanamur.”

Cerita Tanamur pun beredar dari mulut ke mulut. Suasananya, musiknya, disain interiornya hingga kehangatan dan keramahannya. Dan sudah barang tentu, aturan mainnya yang tak ada aturan. Bebas! Enjoy! Party!

Sampai pula kabar itu ke telinga para penikmat musik disko. Ke orang-orang yang sekadar mencari ketenangan dan hiburan di malam hari.

Majalah Tempo, 27 Maret 1971 menggambarkan suasana Tanamur:

Musiknja lebih mendebur, tetapi di beberapa podjok suasana suram mirip kesepian. Di Tanamur kesempatan untuk merenung sangat terbuka, lambang pohon kaktus memang tepat baginja.

…Tanamur bagaikan milik para remadja. Ada kebebasan dan kesederhanaan.

“Di sini ada pasangan-pasangan jang tidak datang bersama,” kata Ahmad Fahmy, “mereka kentjan untuk bertemu di sini, untuk menghemat biaja,” begitu tulis Tempo.

Majalah berita mingguan yang digawangi Goenawan Mohamad ini cukup rajin menurunkan berita riuh rendah kehidupan Tanamur. Agaknya wartawannya pengunjung setia Tanamur.

Tanamur memang banyak dikunjungi wartawan dan penulis.

Makanya tak sedikit novel yang mengambil latar Tanamur. Di antaranya Fredy S.

Juga Teguh Esha. Penulis novel Ali Topan Anak Jalanan ini semasa jadi wartawan juga sering ke Tanamur.

Ketika dijumpai JPNN.com, Teguh Esha membenarkannya. Kata dia, di Tanamur banyak informasi awal untuk dijadikan sumber berita.

“Di sana banyak gosip. Mulai dari gosip rakyat jelata hingga gosip pejabat negara. Sebagai wartawan info awal itu tinggal diverifikasi saja kebenarannya,” kata Ali Topan.

Malam Pelajar

Minggu malam, biasanya pengunjung Tanamur sepi. Mengisi malam yang sepi itu Ahmad Fahmy Alhady mengemas acara untuk pelajar.

“Cover charge diganti dengan uang iuran. Tiga ribu dalam satu triwulan. Mendapat keringanan lagi karena dapat dibajar setiap bulan. Makanan dan minuman jang masuk perut mendapat potongan sebesar 300,” tulis Tempo, 24 Juli 1971 dalam berita berjudul “Tanamur Student Club“.

Lanjutan beritanya, “Djadi kalau dialdjabarkan satu kali masuk berarti kena Rp 250. Sedangkan cover charge biasa adalah Rp 600. Belum diperhitungkan bahwa kadang-kadang dalam satu triwulan djumlah minggunja ada jang sampai 13-14.”

Untuk para pelajar atau mahasiswa yang punya Minggu malam di Tanamur, Fahmy membuatkan dua macam kartu anggota.

Kartu pertama, warnanya merah dengan tulisan hitam. Bagian depan berisi foto pemilik, nama, alamat serta tandatangan. Di belakangnya peraturan. Kartu yang dibubuhi vignet penari hitam, dikhususkan bagi anggota perorangan.

Kartu kedua gambarnya warna kuning. Berlaku untuk satu couple dengan ukuran lebih tinggi; Rp. 5.000 per triwulan. Karna harganya lebih mahal, pemegang kartu ini berhak membawa seorang kawan lain. Siapa saja. Baik laki pun perempuan. Asal cukup dewasa, semua diperkenankan.

Minggu malam, “Tanamur menjadi tempat rekreasi, latihan tari, poetry reading dan sebagainja. Semua diserahkan kepada inisiatif para anggotanya,” ujar Fahmy, sebagaimana ditulis Tempo. “Naga-naganja Ahmad Fahmy memang mengarahkan Tanamur untuk pemuda-pemuda jang tidak begitu padat kantongnja.”

Tanamur kian ramai. Dari hanya satu kepala, menjadi ratusan. Dan pada masa jaya-jayanya, nyaris tiap malam, pengunjung Tanamur mencapai 1.200 orang.

“Padahal normalnya, bangunan Tanamur hanya dapat menampung sekitar 800 orang,” kata Firdaus Alhady, keponakan Fahmy Alhady, dicuplik dari skripsi Enrico, mahasiswa sejarah UI lulusan 2012.

Bukan Night Club

Konsep diskotek Tanamur sangat berbeda dengan night club. Inilah yang kemudian hari menyebabakan Tanamur lebih digandrungi ketimbang klub malam.

Di night club pengunjung disajikan live music yang membawakan lagu berirama pop dan jazz. Sedangkan di Tanamur, musiknya disko yang diputar sangat keras. Meski sesekali diputar juga musik bertempo lambat.

“Iya, Tanamur berisik banget musiknya,” kenang Kili kepada JPNN.com. Perempuan berusia kepala empat ini mengaku pernah ke Tanamur semasa masih gadis remaja. Si tante dulunya anak gadis Ibukota.

Perbedaan lainnya –di awal berdiri –Tanamur tempat ajojing yang tidak menyediakan hostes. Sedangkan di night club, hostes bagian dari menu.

Enrico dalam skripsinya menguraikan, Blue Ocean di Jl. Hayam Wuruk punya sekitar 230 hostes, Apollo di Jl. H. Agus Salim, Menteng memiliki 120 hostes, Marcopolo memiliki sekitar 90 hostes.

Meski pada akhirnya juga menyediakan hostes, Tanamur tidak mendapat kesan senegatif night club. “Ini yang menjadi salah satu faktor diskotek lebih menjadi pilihan anak muda Jakarta,” tutur Enrico.

Kehadiran Tanamur sebagai pelopor diskotek di Jakarta, membawa pengaruh terhadap industri hiburan malam. Semenjak ada Tanamur, banyak klub malam yang gulung tikar.

Majalah Tempo, 14 Februari 1976 menulis, berdasarkan keterangan Wim Tomasoa, Wakil Ketua Bapparda/ Dinas Pariwisata DKI, sebanyak 33 night club pada 1971/1972 hanya sisa 16 buah pada 1976.

Ulang Tahun Pertama Tanamur

Saat merayakan hari jadinya yang pertama, diskotek Tanamur mendapat surprise. Bukan sembarang surprise. Diskotek pertama di Jakarta itu diserbu geng Sartana.

“…geng itu, djuga melakukan penusukan terhadap karyawan Tanamur dan mengganggu tamu-tamu jang berkundjung ke discotheque itu,” tulis majalah Tempo, 4 Maret 1972.

“Perusahaan itu terpaksa menjorongkan puluhan ribu rupiah dibawah antjaman pisau para Sartanawan,” tulis Tempo. Sartana–singakatan dari Sarinah-Thamrin-Tanah Abang.

Entah kenapa, insiden pada suatu malam di bulan November 1971 tersebut baru dilaporkan manajemen PT Tanamur di Tanah Abang Timur ke pihak berwajib pada Maret 1972

“Tidak didjelaskan mengapa Tanamur baru melaporkan hal-hal jang naas itu 6 bulan kemudian,” tulis majalah berita mingguan itu dalam berita berjudul Geng Sartana Menyerang Tanamur.

DJ senior Dino Lakolo yang sering datang ke Tanamur ketika masih sekolah dulu mengatakan, dalam tempo-tempo tertentu memang suka terjadi keributan di sana.

“Namanya dunia malam, sesekali tentu adalah insiden-insiden begitu,” katanya kepada JPNN.com, dalam sebuah obrolan malam di Pasar Festival, Jakarta Selatan.

Berkaliber Internasional

Menutup kisah ini, ada sebuah cerita…

Tanggal 4 hingga 5 Desember 1975, Deep Purple menggelar konser di Jakarta.

Konser dua hari berturut-turut ini dibanjiri tak kurang 150 ribu penonton. Konon, inilah konser rock dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang sejarah Indonesia.

Setelah konser berakhir, rombongan Deep Purple menggelar after show party di diskotek Tanamur.

“Para rockstar itu ke Tanamur bukan karena diajak promotor. Tapi mereka yang meminta dibawa ke sana,” kata Hendaru kepada JPNN.com.

Menurut dia, sebelum datang ke Jakarta, Deep Purple sudah mendengar cerita tentang Tanamur.

“Pada masanya Tanamur sangat terkenal. Jadi perbincangan sampai Eropa. Sebab, menurut Martin Jenkins dalam Tanamur: Long Gone But Not Forgotten, Tanamur adalah “first real disco to open in the whole of South East Asia.”

Bagi generasi tempo hari yang pernah bertandang ke Tanamur tentu ingat:

Di bagian luar dinding bangunan segitiga tertera huruf-huruf besar bertuliskan TANAMUR discotheque.

Persis di depan tulisan itu adalah tempat parkir mobil milik Fahmy, si empunya Tanamur.

“Untuk parkir mobil Fahmy, tidak ada yang dapat mengganggu gugat letaknya. Semahal apapun mobilnya, sebesar apapun pengunjung membayar sewa parkir, tempat tersebut akan selalu menjadi tempat parkir mobil Fahmy,” kenang Vincent, DJ legendaris Tanamur, sebagaimana dikisahkan Enrico dan langsung disampaikan Hendaru kepada JPNN.com.

Oiya, tanya saja anak muda tahun 70 hingga 80-an, “benar tidak bahwa dulu itu ada istilah; nggak ke Jakarta kalau belum ke Tanamur?”

Sumber: glamor.id

Penulis:

Baca Juga