Rupiah Melemah, PLN Merugi Triliunan
Jakarta-BP: Melemahnya nilai tukar rupiah akibat dilibas dolar Amerika Serikat (AS) menjadi dilema tersendiri bagi Perusahaan Listrik Negara (PT PLN Persero). Pasalnya melemahnya kurs rupiah menjadi penyebab kerugian PLN mencapai Rp 5 trilun rupiah.
Pada APBN kurs yang dipakai sebesar RP13.400 per 1 USD. Namun kondisi rupiah yang tak kunjung cerah bahkan terus melemah hingga pada level Rp 14. 400 per USDnya menyebabkan PLN harus menanggung rugi selisih mencapai Rp 11 triliun.
Disisi lain, menguatnya dolar terhadap rupiah mengakibatkan biaya pokok produksi juga ikut-ikutan naik. Diantaranya terjadi kenaikan signifilan terhadap biaya pokok produksi (BPP).
BBP PLN pada semester pertama tahun ini naik menjadi Rp142,42 triliun dari Rp130,25 triliun tahun lalu.
Direktur Pengadaan Korporat PT PLN Syofvi Rukman membenarkan bahwa, kenaikan biaya pokok produksi ini rak lain karena penguatan dolar. Sebab jauh sebelum rupiah keok PLN sudah terbiasa melakukan transaksi jual beli bahan melalui penggunaan USD.
" Iya dong pasti, ICP naik, gas naik, batubara juga kan baru setelah 12 Maret. Tapikan di depan pakai kondisi kemarin. Kurs ini bikin kita PLN harus tarik nafas," katanya.
Menanggapi beban PLN tersebut Pengamat Energi Universitas Indonesia, Berly Martawardaya menjelaskan, jika harga batubara dan migas di awal penetapan memang tidak pernah diprediksi akan mengalami kenaikan seperti ini.
Walhasil dengan naiknya harga batubara mencapai USD 70 tersebut tak pelak membuat keuangan PLN jeblok.
" Perencanaan peningkatan kapasitas PLN di awal pemerintahan menggunakan harga batu bara dan migas saat itu dan tidak prediksi naik sampai USD 70 seperti skr maka rentan terhadap kebaikan harga bahan baku fosil global," katanya
saat dihubungi Akurat.co di Jakarta (30/9).
Berly meminta PLN harus melakukan langkah-langkah akselerasi.
Menurutnya, yang paling mungkin PLN harus mengarah ke energi terbarukan sebagai upaya untuk jeluar dari masalah biaya operasi dan lemahnya kurs rupiah.
" Sudah saatnya PLN akselerasi input energi mix ke terbarukan yang walaupun biaya konstruksi lebih besar, tapi biaya operasi lebih rendah dan minim resiko perubahan harga energi global," pungkasnya.
Sumber: Aktual (JP)
Komentar