JAKARTA-BP: Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan defisit transaksi berjalan (currenct account defisit (CAD) buat pemerintah pontang panting. Berbagai kebijakan barupun dilahirkan.
Diantara kebijakan tersebut adalah mengkaji kembali proyek infrastruktur yang memang mengandung impor tinggi hingga meningkatkan ekspor demi menambah devisa melalui rencana pencabutan kebijakan wajib memasok kebutuhan dalam negeri alias domestic market obligation (DMO).
Namun masalah utama dari semua ini adalah tidak banyaknya masuknya devisa hasil ekspor ke tanah air. Masih banyak eksportir yang menyimpan dananya di luar negeri ketimbang membawa masuk ke dalam negeri.
Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah mencoba menarik devisa melalui aturan ini masuk ke dalam negeri melalui Peraturan BI No 13/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. Aturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Bo 16/2014. BI mewajibkan devisa hasil ekspor masuk ke bank domestik. BIla tidak patuh akan dikenakan denda 0,5%.
“Data BI menunjukkan bahwa sudah 90% lebih DHE sudah masuk ke Indonesia. Namun value yang dikonversi ke rupiah sekitar 15-25%. Tidak diwajibkan,” kata Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur BI, Jumat (27/7/2018).
Namun aturan ini tidak memiliki taji karena sifatnya mencatatkan saja. Setelah selesai mencatatkan dana devisa hasil ekspor bisa terbang kembali ke luar negeri. Tidak ada juga kebijakan mengkonversi devisa ini menjadi rupiah. BI tidak bisa memaksa eksportir mengendapkan dananya di dalam negeri karena Indonesia mengadopsi rezim devisa bebas.
Dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II, pemerintah memberikan insentif kelonggaran pajak. Saat ini, tarif pajak bunga deposito adalah 20%.
Namun jika DHE disimpan di deposito selama sebulan, tarif pajaknya turun menjadi 10%. Jika disimpan selama 3 bulan, bunganya turun lagi menjadi 7,5%. Kemudian bila disimpan 6 bulan menjadi hanya 2,5%. Saat disimpan di atas 6 bulan, pajaknya 0% alias bebas pajak!
Untuk DHE yang dikonversi ke rupiah, tarif pajaknya lebih rendah lagi. DHE yang sudah dikonversi ke rupiah dan disimpan di deposito selama sebulan, hanya kena pajak 7,5%. Kalau tiga bulan, pajaknya hanya 7,5%. Kemudian kalau disimpan selama 6 bulan, maka bebas pajak.
Aturan ini pun ternyata tak terlalu menarik buat eksportir. Buktinya, Indonesia masih saja mengharapkan dana asing berbentuk portopolio (hot money) untuk menstabilkan rupiah.
Sekarang pemerintah berencana untuk membentuk lembaga baru untuk mengefektifkan dana hasil ekspor ke dalam negeri. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) akan melakukan diskusi dengan pengusaha batu bara dan kelapa sawit untuk mengefektifkan masuknya hasil dana ekspor ke dalam negeri.
Menurut Darmin, masih ada perusahaan yang beralasan menyimpan dana hasil ekspor di luar negeri sebagai syarat dari bank yang memberi pinjaman. Namun menurut Darmin, bisa saja diambil jalan untuk membuka rekening di cabang bank yang ada di Indonesia.
Darmin sempat menjelaskan, kerap terjadi bank pemberi pinjaman di luar negeri menempatkan valas sebagai rekening koran di berbagai bank berbagai negara.
“Bank di Frankfurt, ya terserah di mana saja. Bunganya turun sekali, nol koma. Jadi kenapa dia tidak berani? Kalau besok diminta duitnya sama yang punya, terus dari mana? Karena ada peraturan BI mengenai net open position,” jelasnya.
Sementara itu terkait rencana penghapusan DMO batu bara, Darmin tak berkomentar banyak. Sebab, dia tak mengikuti keseluruhan rapat.
“Tapi ya tentu ada juga nanti yang diminta [pungutan]. Saya tidak bisa bilang seperti Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Sawit atau tidak, tapi akan ada lembaga baru untuk itu,” ujar Darmin. (cnbci/TA)
Komentar